Awal
Cerita.
Jiwa
Hari melayang. Pikirannya terbang seperti malaikat yang memiliki sayap. Terbang
tinggi di atas langit putih. Bumi dilihatnya hijau cerah dan biru hidup.
Seberkas sinar menimpa wajahnya. Seketika ia berada di pinggir jalan raya.
Sinar matahari menerawangi seluruh sudut bumi. Terlihat semua bayangan dalam
mimpinya itu. Jelas.
Melangkahkan
kaki. Hari berjalan dalam kesegaran yang tak dimilikinya kemarin malam.
Semerbak bunga dan wangi angin mengikuti langkahnya. Semakin jauh. Trotoar yang
ada lurus di hadapannya tak memperlihatkan belokan atau lampu merah. Tak ada
mesin roda dua ataupun empat yang lewat. Orang-orang pun tak nampak meski hanya
sekedar berdiri di jalan itu.
Rasa
bosan dalam dirinya menyeruak dan ingin segera keluar dari mimpi itu. Ia duduk
di atas batu bata yang berjejer panjang. Diperhatikan samping kanan dan kirinya.
Tak melihat seorang pun. Hari terdiam cukup lama mengingat wajah
perempua-perempuan yang pernah di cemoohkan olehnya. Kasihan mereka. Gumam Hari
dalam hati.
Dari
kejauhan di sebelah timur. Dengan silau matahari terbit, Hari melihat sosok
tubuh semakin mendekati jalannya. Tegap langkah kaki seorang lelaki yang
berlari dikejar matahari yang semakin meninggi. Siapa itu? Bisiknya pelan ke
udara di dekat wajahnya. Lelaki itu semakin mendekat. Gurat-gurat wajahnya
mulai terlihat lebih nampak seperti wajah manusia. Bukan hantu yang sering ia
jumpai dalam mimpi.
Lelaki
berpakaian itu berlari terus berlari dan mendekati Hari. Hari tercengan melihat
wajahnya sendiri. Ia melihat matanya, hidungnya, tangan dan kakinya bukan dari
cermin. Terlihat suatu keanehan tercoreng di mukanya. Menyaksikan dirinya
sendiri dalam mimpi.
“Har,
kamu jangan duduk di tengah jalan. Larilah secepat mungkin. Masih jauh panjang
jalan lurus ini. Untuk apa kau terdiam dan memikirkan yang sedikit sekali
gunanya buat kamu.”
Ucap
lelaki itu. Sambil menarik lengan Hari, dia menyeret paksa Hari untuk berlari.
Membuyarkan semua lamunan dan angan-angannya
“Sebentar!”
Tubuh
Hari mengeras kaku. Seolah ia ragu mengikuti langkahnya. Ia menatap wajah
lelaki seusia dengannya. Wajah dan hati yang sama. Satu tubuh.
“Kamu
siapa?”
Tanya
Hari masih penasaran dengan tak lelahnya lelaki itu berlali sepanjang jalan.
Rona dan sekuntum senyum menyapa tegur ramah dari Hari.
“Aku
adalah kamu, dan kamu adalah aku”
“Jalan
ini masih panjang Har! Kamu jangan takut atau ragu menerobos angin yang
menghempaskan tubuh kita di depan sana. Hingga kamu harus berhenti dan tak
meneruskan perjalanan hidupmu”
Hari
mengerti. Ia memang benar dirinya. Kalau bukan, dari mana ia tahu nama Listi
dan memang aku sedang memikirkannya. Hari yakin dialah jiwa yang sesungguhnya.
Sejenak rasa hatinya tergugah dengan tujuan hidupnya. Teringat orang tuanya.
Tetangganya. Teman-temannya dan kekasihnya itu. Hari ingin berlari mengejar
keinginan mereka agar ia menjadi orang terbaik, sukses. Hari tak bisa
mengkhianati kepercayaan mereka.
Lelaki
itu merogoh tas di punggungnya. Sedikit bekal yang ia bawa. Ia raih buku yang
lusuh.
“Bacalah!
Lalu berlarilah dengan kencang”
Lelaki
itu menyerahkan catatan-catatan itu pada Hari. Seperti puisi pembangkit jiwa,
penghidup cinta. Jiwa Hari meneruskan larinya meninggalkan bayangan Hari. Ia
terpana dan terbata melihat jiwanya berlalu meninggalkannya. Biarlah, Hari
mengerti. Hingga ia harus menyusul jiwanya sendiri.
Keringat
yang keluar dari pori-pori kulitnya mulai membasahi dahi. Berkerut dan
mengencang. Bola matanya berjalan ke kiri dan kanan. Ada sesuatu yang dicari
oleh lensa mata yang tajam itu. Kakinya tak ingin diam, bergerak ke atas dan ke
bawah seolah menginjak-injak sesuatu.
Lehernya mengangkat kepalanya. Menengok supir bus di depannya dan
menurunkan kepalanya kembali. Bibirnya terbuka, seperti menghisap sesuatu yang
terasa manis di udara. Terlihat giginya dari celah kecil bibirnya, menggigit
sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Perjalanan
cukup melelahkan dari kota Bandung. Hampir tiga jam ia duduk dalam bus AC
Jurusan Bandung – Cirebon. Wajahnya menghadap kaca mobil. Kemudian kelopak
matanya terkaku beberapa saat. Matanya mondar-mandir menangkap semua
yang ia lihat. Rambu petunjuk arah, lampu merah bahkan warung-warung di pinggir
jalan. Pikirannya tak henti menghafalkan jalan. Seperti peta dan petunjuk yang
diberikan temannya sebulan lalu. Kemudian ia mendapatkan bayangan wajah
temannya. Pemuda polos. Yang membuat ia mengingat ketika makan bareng, ngopi
bareng dan ngaji bareng. Di pesantren.
Namanya
Syahid. Senyum dan cucaran keringat temannya waktu ngeliwet di pesantren
membuatnya rindu kenangan kebersamaan. Hidup yang sederhana membuat banyak pelajaran
yang bisa ia ambil. Bayangan temannya itu melekat di kepalanya hingga bus
Sahabat yang ditumpanginya tiba di terminal kota Cirebon.
“Terminal
abis!.” Dengan setengah teriak kondektur bus memberitahu penumpangnya.
Seorang
bapak yang sepanjang perjalanan membaca koran sepak bola melipat korannya.
Wanita setengah baya disamping Hari pun terbangun. Dari tadi, kepalanya nempel
di bahunya. Hari hanya tersenyum. Para penumpang bus mengambil tas dan bawaan
mereka. Hari cuma bawa tas gendong kecil. Tas itu ia peluk sepanjang jalan.
Sebagai teman.
Hari
menginjak tanah kota udang itu. Kepalanya berputar seolah dimana ia harus
meneruskan perjalanannya. Seorang lelaki setengah baya berwajah hitam
menghampirinya, “Mau kemana Mas?” tanya lelaki itu. Sepertinya ia seorang
kondektur atau calo angkutan umum. Matanya yang agak merah sedikit menghiasi
kesangaran lelaki itu.
“Saya
mau istirahat dulu.” Dengan ketus Hari menjawab.
Hari
beranjak dari tempat itu, kemudian ia duduk di depan kios minuman.
“Aqua
botol satu, Pak!,” pinta Hari kepada seorang kakek yang sedang menikmati
sebatang rokok. Sambil menunggu kiosnya. Kakek itu beranjak dari tempat
duduknya. “Yang dingin, Pak!.” Belum sempat kakek itu bertanya, Hari sudah
meyerobotnya. Udara terminal panas menambah basah punggung Hari dengan
keringatnya. Asap-asap mesin mobil memaksanya mengusap wajahnya dengan handuk
berwarna hitam.
“Berapa?
Pak!,” tanya Hari, tangannya merogoh saku celana jeansnya.
“Seribu
lima ratus,” giginya yang berjauhan, dalam senyum godaan pedagang.
Tangan
Hari masih merogoh-rogoh saku depan dan saku belakang celananya.
“Ini
Pak!” tangan Hari kaku, dari tadi berkeliling dalam saku celana nyari uang
gope-an.
Maklumlah
di zaman kayak gini, uang lima ratus perak pun susah dicari. Gumam benak Hari. Sambil
menyodorkan uang, Hari bisa minum di antara bus-bus. Di terminal Tirta Bakti,
Cirebon.
Dahinya
mengkerut. Otaknya kembali disibukkan rumah Syahid. Matanya melirik ke kanan
pandangannya. Bus-bus antar kota. Sebelah kirinya, penjaga pintu keluar
terminal. Pakaiannya seragam. Topi biru tua. Peluit di tangan kirinya. Sangat
sibuk. Wajahnya memerah diperas cahaya matahari. Bibirnya kering dibakar udara
gersang.
Hari duduk.
Masih terdiam di depan kios minuman itu. Keringatnya yang mengalir. Diamuk
pemandangan. Orang-orang yang hidup dengan keringat mereka. Mencari nafkah
untuk anak istri. Tenaga mereka pun tak dibiarkan. Mengangkat beban-beban berat
demi dua lembar uang ribuan. Sebagian rasa bosan, menjajakkan jajanan, minuman
dari pintu bis ke bis yang lain. Tak ada yang membeli. Sama seperti Hari,
keringat mereka bercucuran. Secercah senyum menggores wajah letih mereka.
Hilang semua lelah saat menerima hak-hak mereka.
Dibukanya
tas berwarna hitam dipungguhnya. Lebar lebar ia buka. Mencari peta dan arah
jurusan yang dulu pernah ia catat dari Syahid. Selembar kertas yang dilipat
empat. Dari terminal, naik mobil elf jurusan Cirebon-Sindang Laut. Pikir Hari
dengan tangannya yang membaca setiap kata di kertas itu. Setengah tenaga ia
menggigit bibirnya. Kemudian melepaskan udara sesak di dadanya. Ia tari kembali
restleting tasnya.
“Pak,
kalo mobil jurusan Sindang Laut sebelah mana ya?” kepalanya menoleh ke sebelah
kanannya. Kakek yang dari tadi duduk disebelahnya.
“Emangnya
adek ini mau kemana?”
“Saya
mau ke rumah temen. Katanya, di Sindang Laut”.
“Ooh,
itu sebelah sana,” kakek itu setengah membungkuk mengarahkan tangannya menunjuk
tempat di sebelah kiri kiosnya. “Naik elf” tambahnya.
Hari
melihat beberapa mobil elf. Berjajar.
“Makasih,
Pak!” ia bayar jawabannya itu dengan senyuman. Meski panas membuatnya haus.
Hari
berjalan. Mengantongi jawaban dari kakek penjual minuman tadi. Botol yang ia
pegang, dimasukkannya ke dalam tasnya. Ia gendong lagi tas hitam itu, teman
duduk setiap hari, belajar dan bermain. Sedikit harap-harap cemas di hatinya.
Sebentar
sekali ia sampai di kumpulan supir elf. Kayaknya enak kalo siang-siang gini
minum kopi, emangnya enak gitu? Pertanyaan di balik pikiran Hari melihat para
supir itu duduk-duduk di samping mobilnya.
“Arep
mendi, Mas?” tanya seorang di antara mereka. Langsung memegang bahunya. Hari
was-was.
“Sindang
Laut” jawab Hari pendek.
“Sindang
Laut sini, Mas” ajak seorang lagi.
Lelaki
yang nyambut Hari dengan pelukan itu mendorong bahunya.
“Itu
masih lama, tuh masih kosong!” ia membiarkan Hari menoleh mobil elf di sebelah
kananya. Kosong.
“Tuh,
yang depan aja, dah penuh, mo berangkat,” godanya.
Sambil
berjalan, lelaki itu melepaskan cengkraman di bahunya. Hari hanya diam.
Langsung saja ia masuk mobil yang hampir penuh itu.
Badannya
terhempas di sudut bangku elf. Ia angkat tasnya lalu memeluknya. Huuh. Suara
seperti membuang ampas kehidupan keluar dari mulut Hari. Sejenak ia terdiam.
Lima menit kemudian ia meneguk lagi botol air di tasnya.
Matanya
meronta-ronta. Memaksa memelototi huruf-furuf dan nama kampung yang ia tuju. Ia
pindahkan tatapan lensanya itu ke balik jendela kaca mobil. Pohon, orang dan
batu-batuan ditangkap dan ditelan dalam matanya. Lalu berairlah matanya dan
hanya menggenang. Seketika pula Hari
mengeluarkan suara seperti suara kerbau memanggil induknya, kemudian ia
tutup mulutnya yang sudah merasakan rasa asin sejak tadi masuk ke mobil. Hari tempelkan
kepalanya, melipat tangannya dan saling terikat antara keduanya.
Angin
jalanan menubruk kencang mobil berwarna cokelat tua. Mencari ruang kosong,
menyelusup lewat jendela dan pintu kendaran berpenumpang kurang lebih dua puluh
orang! Sesempit ruang hati kita jika saja hidup Hari tak ia kokohkan dengan
kesabaran dan niat yang tulus serta i’tikad yang baik. Yaitu bersilaturrahmi ke
rumah sahabatnya. Syahid.
Sejuk
mengurung ruang dada Hari yang tergolek terhimpit badan-badan dan
barang-barang. Angin bulan September medorong kelopak matanya, menutup
hilangkan semua harapan dan pandangan Hari. Tangannya masih melingkar di
perutnya, dengan alas tas hitam. Hari tertunduk dan terpejam. Sementara
jalan-jalan protokol masih menyisakan coretan dan debu-debu yang berkeliaran.
Semalan
setelah bersama temannya. Makan malam dengan kangkung rebus dan sambal terasi.
Lezatnya makanan yang tak pernah ia temukan di kota Bandung. Sebenarnya, Hari
bukanlah orang Bandung. Ia sekarang kuliah di salah satu perguruan tinggi
negeri Islam di Kota Kembang itu. Harapannya menjadi seorang lelaki yang
berpengalaman dan manusia yang dibutuhkan orang. Hari memasuki perguruan tinggi
dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Ia hanya ingin mengembangkan kebahasaannya kemudian menginjakkan
kakinya di negeri Piramida. Sebuah cita-cita yang belum kesampaian dalam
angan-angan Hari.
Pertama
kali ia masuk ke kampusnya, tak ada satupun kepala yang ia ketahui. Dorongan
orang tuanya selalu menjadi penyemangat Hari dalam berkarya dan belajar. Ia
bukan lulusan SMA jurusan Sosial dan Bahasa. Bakatnya dalam berhitung IQ-nya
lumayan tinggi, standar orang cerdas 190 menggugah keinginannya menjadi seorang
ahli matematik. Ataupun hanya sekedar menghitung uang-uang di sebuah perusahaan
bonafied.
Banyak
teman Hari yang pintar dalam pelajaran matematika, di SMEA. Akan tetapi, ia
lebih dipercaya sebagai seorang yang lebih cerdas daripada teman-teman yang
lainnya. Seperti halnya di SMA. Kenangan manis awal mengenal cinta.
Kesetiaan
seorang ibu menemani anaknya. Awalnya Hari tak ingin meneruskan pendidikannya
ke bangku kuliah. Keinginan simple nya menjadi seorang ustadz atau
seorang kiayi. Namun ibu mana yang tak sayang dengan anaknya. “Kamu harus lebih
pintar dari bapak sama ibu!”. Kata yang terlontar dari bibir penyayang seorang
wanita yang pernah melahirkannya.
Teringat
suatu malam. Suntuk dicampur ragu. Hari dan ibu bapaknya datang di kota
Bandung. Kota yang entah sekarang mungkin telah menjadi kota kambing. Hari
berdiri menatap lampu sorot yang cukup terang, matanya terbelakak dari mimpi
dan angan-angannya hidup di kota besar.
Tiga
orang lelaki berbadan besar sedang duduk-duduk di sebuah pos satpam samping
gerbang gedung-gedung yang halamannya cukup untuk membuat lima buah rumah di
kampung Hari. Udara aneh menusuk hidungnya. Ia masih terpaku melihat tulisan
yang dibuat dari beton “IAIN Sunan Gunung Djati Bandung”. Jalan-jalan sepi dari
roda-rada kendaraan. Maklumlah baru pukul 2.30 pagi. Hanya lampu hias sebuah
toko swalayan membuat malam sepi senyap menjadi ramai dengan pemandangan cahaya.
Hari
dan kedua orang tuanya menghampiri ketiga orang satpam tadi, mungkin.
“Bapak,
ngiringan calik” bahasa sunda keluar dari hati manusia super sensitif di dunia
fana ini.
Ibu
setengah baya berpakaian krem itu langsung duduk di depan pos keamanan itu. “Alhamdulillah!”
gumamnya, akhirnya sampai pula tujuanya menyekolahkan anak kesayangannya itu,
Hari.
Hari
ikut duduk di samping ibunya. Matanya memejam dan mulutnya yang panjang membuka
lebar, mengeluarkan suara seperti seekor kerbau memanggil induknya. Selimut
malam dingin menerpa bulu matanya yang tak lentik sedikit pun. Sedikit tetes
air hampir terlepas dari pelupuk matanya. Kedua tangannya langsung melipat dan
menutup muka yang kusam, bekas perjalanannya.
Ia lepaskan semua rasa penat dalam benaknya kemudian menumbuhkan apa
yang akan terjadi esok harinya.
Tangannya
melipat di atas lutunya. Celana hitam kesayangannya. Kepalanya terasa berat.
Ribuan ton terlihat di ubun-ubun kepalanya. Dahinya langsung menyentuh lipatan
tangannya hingga ia terhempas dalam iklim yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya. Terpejam dan melayang tinggalkan keinginannya dan berjalan di jalan
setapak hutan-hutan rimba dalam mimpinya.
Hari
bangkit dari duduknya. Matanya terasa berkunang-kunang. Langkah kakinya
mengantarkan tubuhnya. Bapak dan ibunya disuruh menunggu di depan pelataran
mesjid kampus tak jauh dari depan teras pos keamanan tersebut. Hari duduk.
Bersandar pada dinding mesjid berkaca hijau dengan tulisah lafadz tahlil dan
nama Muahammad. Ia peluk tasnya dan menjaga mimpinya.
Ibunya
tergolek lemas di samping kirinya. Bapaknya menatap tajam setiap cahaya dan
sudut gelap di depan tempat ibadah itu. Masih terasa dingin. Hamparan keramik
seperti batu es pun membuat lelah menjadi nikmatnya lelap bersama daun-daun
pohon yang berjajar menghalangi setan-setan berkeliaran.
Hari
menoleh ke arah ibunya. Jilbabnya tergores hampa mimpi dalam angannya.
Tenanglah ibuku!, terlelaplah! Kala kau bangun aku telah menjadi seorang yang
sangat berharga bagimu. Teriak pikiran Hari ke dalam naluri ibunya yang masih
terbujur di balut mimpi.
“Assholaatu
Khoirumm Minann Nauum!”
Hari
terjaga. Arlojinya berdetak dan membasuh keringatnya tadi siang. Beberapa
lelaki bersarung melawan rasa suntuknya. Demi sebuah panggilan. Dan pendekatan
menenangkan hati. Hancurkan buruk sangka dan kesombongan. Seorang pemuda
tersenyum. Ditangannya sebuah gayung dengan sabun mandi dan pasta gigi. Hari
mengikutinya.
Basuhan
air suci meremukkan kantuk dari rona wajah Hari. Bergegas ia berbaris dan
merapatkan kakinya bersiap-siap. Berjumpa dengan Tuhan.
Hari
semakin terang. Hari pulang dari gelap. Satu persatu orang berdatangan. Ibu
yang terkulai lemah tadi pagi. Ceria bersama mentari Senin itu.
Pukul
delapan pagi, seorang perempuan seumur dengan Hari berdiri di depan gedung bertingkat
enam. Hari memboyong mapnya. Tiga lembar map kuning. Ijazah, STTB, dan yang
lain-lain. Kakinya mengikuti seorang lelaki yang dari tadi pagi menunjukkan dan
membantunya daftar di lantai tiga. Hari yang berkenang.
***
Lanjutan
Pertama.
Malam
dan hari itu. Awal dari perubahannya. Perubahan menjadi seorang yang harus
menjadi seseorang yang dewasa. Dan hari ini.
Hari
masih terpejam. Rambutnya melambai-lambai. Meneriaki awan-awan semi biru di
angkasa yang menerbangkan kegundahan dan rasa risau. Tetap tertutup dan
terpejam. Hiraukan semua suara ganas dan sesak raga.
Hari
melangkah dari pintu mobil yang terlipat. Mata memerah. Rasa kantuk menampar
wajahnya. Angkasa masih memutih dan sekelilingnya tampak membisu.
Lemparan-lemparan debu mengunjuk Hari meneduhkan rambutnya di bawah pohon
rindang. Pohon di pinggir kota. Baju hijaunya kusut terlipat tas gendong di
perutnya. Selepas setelah sekian detik berdiri. Pandangannya masih kosong.
Menempati ruang-ruang cahaya di sekitarnya.
Spanduk
kain berwarna kuning di seberang jalan. Warung Nasi Sederhana. Mengangkat
mukanya. Menerobos sepi dan lengang. Langkah yang pelan mengalun mendatangi
rumah berbilik kawat. Kaca-kaca putih. Tahu, ikan, daging, sayur kacang dan
seongkok ulam hijau bertenger di piring-piring tertutup kain kasa sedikit
renggang.
Sebentar
Hari berhenti dan melongok lemah makanan itu.
“Makan,
Mas!”
Sapa
seorang gadis hitam manis berkaus hitam. Bercelana panjang jeans biru. Barisan
giginya melempar wajah Hari dengan ramah. Lesung pipit di samping pipi kirinya
menggali keindahan rona-rona manis penjaga warung. Tangannya menggenggam kain
lap segi empat bercorak keramik. Dilipat dan diremas. Tangannya setengah basah.
Bibirnya sedikit tertutup dan mencuat mengingatkan Hari dari ketidak sadarannya.
“Iya!”
Hari
lempar lagi sekuntum senyum dari wajah mirip keturunan tionghoa. Air liurnya
terasa pahit dan menelan ludah memandang makanan kesukaannya. Seperti masakan
buatan ibunya di rumah. Telor mata sapi dan tumis pare-pare.
Duduk
di bangku panjang dari kayu kecapi. Meja yang melingkari dinding warung dari
bilik itu. Dan perempuan itu masih tersenyum mendudukannya dari pandangan tulus
atau tidak dari mimik ekspresinya.
Segumpal
nasi dan sesendok tumis pahit. Hari teringat ketika ia di pondok pesantren
ataupun di kosannya. Sekarang.
Biasanya
temannya bergelut adu omong dengannya. Teriak-teriak ego memesan makanan yang
sering di masak oleh ibu kostnya. Satu orang ingin telor. Satu orang ingin
capcai. Orang lain ingin apa saja. Hari tak terkabulkan. Tumis pare-pare tak
disukai teman sekostannya. Begitu pun pemiliknya. Mereka bilang pare-pare
pahit. Tak enak buat dimakan jadi lauk pauk. Tapi sering bersikeras meski
dihiraukan. Pare-pare dia anggap lebih enak daripada sepotong pizza atau bahkan
ayam panggang. Nafsu makannya bertambah dan terasa sangat nikmat. Pare-pare.
Tangannya
menyilangkan sendok dan garpu di depan gelas bergagang berisi air teh dingin.
Suapan kerinduan bercorak dari keringat. Sambal kehangatan. Menikmati peluh
dibalur dengan keinginan kecil. Lalu kenyanglah ia.
Lanjutan
Kedua.
Hari
beranjak panas. Surya menyengat gurau-gurau canda burung di pohon kenari. Di
depan jalan pesawahan. Tangannya terhimpit kaku. Jalan yang ditunjukkan Syahid
menjamahkan tubuhnya tersandar di dinding batu-batu tembok jalan. Air mengucur
lagi dari akar rambutnya tergenang di atas alis tebal Hari.
Melintasi
kulit kemudian menetes di samping pipinya. Menggerogoti cahaya hitam di pundak
Hari. Perjalanan yang tampak putih berkilauan bintang di matanya. Tak terlihat
orang berlalu lalang ataupun hanya sekedar berdiri menampilkan ciptaan Tuhan
yang ia agungkan.
Kaki
dan tangannya terkilir. Hingga seorang lelaki berjanggut seperti Abu Nawas
hilang dari tatapannya. Lelaki yang berdiri dekat dengan cahaya besar. Di depan
dia melangkah. Menunduk dan mengacuhkan remuk-remuk gulita hidup jantung bumi.
Rambutnya
sedikit berwarna bulu jagung empat bulan. Gundukan-gundukan kotoran tertorehkan
di wajahnya. Bersinar. Bulu mata penuh persoalan. Topi hitam berbentuk
kepalanya menempel setia di depan keningnya dan bertuliskan “punk”.
Kemeja
merah bergaris besar dan bertitik kecil. Indah baginya. Sendiri berdiri di
antara semut bergerayaman dipegunungan pasir air tebu. Sayang. Dia tetap
menunduk menginjak atau tidak segerombolan bangkai elang yang mati kelaparan.
Semerbak
senyum sedetik menggantung di celah bibirnya. Entah kebosanan atau pun acuh tak
acuh. Gerung-gerung zaman merelungkan guratan di lehernya. Nafasnya terengah
saat ia mengalunkan nyanyian-nyanyian pemberontakan. Rambutnya terurai
menggandrungi kepalanya yang kecil. Ikalnya seperti daun pohon beringin di
depan kelas Hari.
Dan ia
berkata;
“Aku
telah bosan dengan orang. Orang yang hanya menjadi orang-orangan. Orang yang
menyeorangkan. Tak adakah kebijaksanaan? Dalam hati ataupun hanya sekedar
bayangan tak terlihatkan? Mereka terlalu menjijikkan. Membosankan. Aku muak
dengan kehidupan yang tak pernah padam. Dari cahaya-cahaya palsu dan mematikan.
Aku akan menjadi diriku sendiri. Biarlah mereka menempuh shirathal mustaqim
mereka masing-masing. Hidupku takkan mereka tanggung dan hidup mereka bukan
tanggunganku. Aku telah berteriak dan meminta sebutir terang. Dari gelap dan
tak adanya keinginan. Tak ada yang tulus menemani. Ibu. Bapak. Saudara. Teman
sekalipun. Kemudian kekasih dambaan. Tuhan juga mungkin tak tulus. Darimana
kita dapat berjalan tanpa kita sendiri memikirkannya.
Negeriku
telah gersang. Bumiku pun telah menyempit. Ibunda tercinta telah tiada. Ayah
tak akan percaya. Padaku. Telah ku selusupkan niat baikku tanpa cinta. Hanya
sebatang kebersamaan. Tidak dengan keegoisan. Aku sering mengalah demi
kemenangan. Jalanku masih panjang. Jika ada yang bertanya. Dimanakah itu
berada? Maka aku lah yang ada”
Sepertinya
lelaki itu mengarahkan langkah Hari. Seolah berkata padanya, “Ayolah kemari!,
inilah jalanmu”.
Kemudian
jari-jemari Hari bergetar. Pikirannya bercampur dengan dinding-dinding putih.
Entah dari mana. Tapi yang Hari lihat hanya putih dan putih. Sepertinya Hari
masuk ke ruang mimpi yang tak berpohon.
Sepenggal
cerita dalam perjalanan Hari. Setelah ia makan dengan tumis pare-pare
kesukaannya. Menengadah ke langit dan bergumam. Kerinduan akan temannya menjadi
api tak menyala tapi tak juga padam. Hari kebingungan dengan lorong-lorong yang
terlalu banyak. Kanan dan kiri.
Seorang
bapak duduk bersila. Mukanya putih. Pakaiannya sedikit lusuh tapi bersih.
Rambut putih menggantung di samping kiri keningnya. Sebagiannya masih segar
hitam. Peci hitam kemerahan. Seperti kebasahan. Duduk bersandar di atas sofa
sobek. Tatapannya tajam menusuk jantung Hari.
Hari
tersenyum. Bapak itu diam. Hari bertanya:
“Maaf
Pak numpang tanya. Kalo rumahnya Syahid sebelah mana ya?”
Setengah
membungkuk, Hari mencoba meneruobos lamunan sang bapak itu. Bapak itu masih
diam. Keningnya menciut. Dahinya naik turun seraya melepas asap tembakau di
mulutnya.
“Syahid?”
Balik
tanya bapak. Mengangkat tubuhnya dengan tangannya yang sudah keriput. Setengah
langkah ia mendekati Hari. Masih heran dengan pertanyaan Hari.
“Itu
Pak, Syahid yang pernah mondok di daerah Banten?”
“O...Ahid!
sebelah sana tuh rumahnya”
Telunjuknya
meliuk mengantarkan pandanganku ke sebuah rumah no 76. banyak karang bunga di
depannya. Syahid lebih dikenal dengan nama pendeknya Ahid.
Pemuda
lebih tinggi dari Hari itu wajahnya imut hitam manis. Badannya sedikit ceking.
Namanya saja disingkat.
Hari
masih menelusuri langkah ujung jari sang bapak. Pandangannya kosong dan dengan
kuat ia yakin itulah rumahnya. Giginya kuat menggigit bibirnya yang lembut
setelah terpanggang api siang. Sekarang agak sedikit teduh dengan atap asbes.
“Makasih,
Pak!”
Tekukan
senyum Hari memberikan hadiah lamunan bagi sang bapak. Goresan rapat gigi Hari
membuahkan senyuman pula di raut renta bapak itu. Hari mengangkat tali tasnya
lebih tinggi di pundaknya. Debar-debar senyuman dengan sahabatnya akan ia
lewati. Syahid aku datang! Katanya dalam hati.
Hari
berhenti. Sejenak ia lingkari tanam-tanam dan pot-pot bungan menggantung di
bawah atap rumah berwarna hijau. Teringat selogan “Ga da Loe, gak rame teman”.
Matanya menumpang sebuah kursi kayu. Yang renggang. Batas teras setengah meter
di hadapnya. Dan setengah pintu di antara keduanya.
“Assalaamu’alaikum!”
Setengah
bersorak Hari mengetuk rumah. Di jendelanya banyak tempelan-tempelan logo.
Termasuk logo pesantrennya.
Ini
pasti rumah Syahid.
Masih
yakin di pikirannya. Namun belum terdengar sahutan. Dari dalam rumah yang
sedikit mencekam itu.
“Assalaamu’alaikum!”
Kedua
kalinya Hari menggedor pintu dari triplek itu. Tak lama keluar seorang pemuda
rambutnya sepeti gaya artis mandarin. Tak cocok memang dewan muka yang sedikit
pekat malam.
“Wa’alaikum
salam” sahut lelaki itu.
Kemudian
ia terbelakak. Mulutnya terbuka seperti melihat keajaiban di depannya.
Tangannya masih menempel memegang erat pintu. Matanya lesu tajam. Kemudian
berteriak.
“Hari!”
Dua
mata beradu. Namum mata sayu Syahid mengalahkan deretan senyum Hari. Hari
tersenyum melebar. Syahid tersenyum kecut. Giginya enggan ia perlihatkan pada
Hari waktu itu. Hari tertampar. Tercenganng. Kaget. Apakah ini benar-benar
Syahid? Dalam hatinya ia berkata. Dulu Syahid tak seperti yang ada setengah
meter di hadapanku. Ah..mungkin Syahid sedang punya masalah. Tambahnya
meyakinkan dialah temannya itu.
“Gimana
kabarnya, Ri?”
Syahid
membuka mulutnya. Sedikit aneh dari pandangannya. Hari ditambah kebingungannya.
Setiap sudut tubuh Syahid di telusuri dengan bola mata sipit Hari. Berbeda!
Sedikit acuh sepertinya Syahid menerima kedatangan Hari. Hari tak peduli. Ia
ingin tahu apakah Syahid memang sedang terbelit masalah.
Hari
itu memang panas. Tapi ruang-ruang di pojok rumah itu terasa gelap bercampur
putih. Abu-abu pun bukan entahlah, pikir Hari. Dimana ini? Tanya Hari dalam
hati dan kepalanya. Rumah Syahid? Atau?
“Duduklah!”
Suruh
Syahid seraya melebarkan dan merapatkan lima jarinya. Hari duduk termenung. Tak
bisa ia tanyakan sesuatu pada Syahid. Tak pula ia senyum lagi. Semua terasa
asing bahkan Syahid sekalipun. Sepi. Jelas tak terdengar suara apapun.
Lorong-lorong, rumah yang rapat dan genting-genting tanah itu pun tetap bisu.
Hari tak habis pikir.
Siang
yang aneh bagi Hari. Di rumah Syahid Hari duduk, tidur, makan dan berbincang.
Namun hanya kekosongan, kehampaan yang ia dapat. Seperti ada masalah besar di
hadapan keluarga itu. Kemudian berjalan-jalan mencoba menemukan ruang yang
berbeda.
Badan
Hari terbaring di atas kasur kapuk. Lumayanlah daripada ia harus nginap di
kamar hotel. Tapi dimana hotelnya ya? Pikir Hari. Sepertinya aku terkurung di
tempat ini. Gumam Hari di tatapannya ke arah langit-langit. Ia ingat kembali
kejadian tadi siang. Turun dari mobil lalu makan lalu ketemu sama orang aneh
terakhir masuk lorong-lorong ini Hari tak melihat lagi ada jalan raya di belakangnya.
Astaghfirullah! Lantas sekarang aku dimana?
Matanya
tak bisa terpejam. Seharian setelah perjalanan pun hilang dengan rasa
penasarannya. Pukul 11 malam. Ia lumat kembali semua yang ia tatap. Rasa takut
bercampur gelisah dan penasaran berkecamuk dalam pikirannya. Seketika ia
membalikkan tubuhnya yang terlentang. Ia lirik ke arah Syahid yang wajahnya
tertutup kain sarung. Ia telungkupkan tubuhnya. Menghilangkan kejadian tadi
siang hingga sekarang.
“Ah..mungkin
aku kecapean”
Bisik
Hari pada dirinya sendiri. Ia yakin bahwa ia sedang berbaring dirumah Syahid.
Semenit matanya berbelok ke tubuh kawannya itu. Lalu ia palingkan lagi. Takut
sesuatu keanehan menimpa lagi pada dirinya.
Hari
coba pejamkan matanya. Udara negatif seperti menyanggah kelopak matanya. Air
mata keluar. Mulutnya bersuara. Menguap. Tak tak bisa ia hentikan pikirannya
itu. Mondar-mandir dalam kepalanya. Lalu ia menengadah. Tangannya memijak kedua
belah keningnya. Sekuat tenaga ia rapatkan matanya. Ia gigit semua peluh-peluh hari
itu.
Jam
berdentang. Tapi kenapa tak ada suara jangkrik, atau katak atau suara angin
sekalipun. Hari meraih buku dalam tasnya. Ia pikir mungkin dengan membaca ia
dapat melelapkan tidurnya malam itu.
Buku
‘Dunia Kata’ karangan Fauzil B. Itu ia bolak-balik. Keinginan mewujudkan
impiannya menjadi seorang penulis. Maklumlah ia juga kuliah di Fakultas Sastra,
sangat mendukung cita-citanya merubah negeri yang dianggapnya telah terlalu
carut marut ini lewat kata, merangkai indah di puisinya, cerita beribu hikmah
dalam novelnya dan pesan moral untuk person yang belum mengenal arti
hidup di bawah takdir Tuhan.
Hari
menyukai tulis menulis sejak ia di sekolah dasar. Namun ia tak menyadari dalam
dirinya terdapat sejuta talenta sebagai individual of change. Yang ia
sadari sekarang adalah bahwa hidup ini tak serumit yang ia pikirkan. Tak
semudah yang ia khayalkan. Terkadang hidup yang ia jalani tidak sesuai dengan
yang diingankannya. Semuanya membawa rahasia. Hari sadari kebenaran Kata-kata
Agung dari Tuhannya. Ketika Tuhannya berfirman :
“Bacalah!,
Dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan”
Pikirnya,
Tuhan mengajarkan pada semua manusia dengan Qalam. Semacam gejala dan
kausalitas terjadinya kehidupan dan kematian. Alam yang menyimpan berjuta ilmu
pengetahuan bahkan tak terhitung berapa banyaknya yang harus manusia syukuri
terhadap Tuhan.
Apalagi
mengenai filsafat hidup, Hari sudah mengetahui bagaimana seharusnya hidup
bersosial akan tetapi tidak bergantung pada orang lain. Menerima semua yang
nyata di hadapan Hari. Benar, salah, baik dan buruk. Semua pasti akan tumpang
tindih di dunia tak kekal ini. Hari yakin benar dengan kebenaran Tuhannya itu.
Ia yakin pula bahwa sewaktu yang telah ditentukan, kebenaran akan memenangkan
permainan hidup.
Suatu
hari, ketika Hari duduk-duduk bersama teman sekampusnya. Cuaca pagi menjelang
siang itu tampak cerita. Awan-awan putih mengelilingi langit biru cerah.
Semilir angin lembut menyapa dedaunan. Daun pohon alpukat di seberang pagar
beton batas kampus. Meskipun ulat menggerogoti daun yang tak akan salah lagi
secepat waktu akan gugur.
Hari
duduk. Berkemeja hijau kesayangannya dan tas selendang antik yang tak ada
satupun temannya miliki. Celana jeans hitam terlihat mengkerut dan melipat di
bagian lututnya. Hari menopang tubuhnya lewat tangannya di atas kedua pahanya.
“Lihatlah
orang-orang itu!” “Teman-teman kita, dan semua orang yang kamu lihat”
Hari
mengarahkan pandangan kedua temannya itu. Menengadahkan kepalanya dan sedikit
menjulurkan kedua bibirnya. Kedua temannya terdiam. Dengan mata sedikit aneh
Hari dapat memindahkan tatapan kedua karibnya. Sebagian teman-temannya yang
diarahkan oleh pembicaraan Hari. Ada yang dahinya berkerut dan matanya tajam
menerobos aksara-aksara Arab di tangannya. Duduk bersila di teras depan kelas.
Ada juga yang lensa matanya lurus, bola matanya pun tak bergerak. Tangannya
menopang dagunya. Seperti terasa berat. Mungkin semalam dia tak tidur. Ada juga
yang tertawa saling melempar senyuman dan canda tawa. Dan lebih banyak dari
mereka laki-laki dan perempuan memecahkan cahaya air mata. Menumpahkan
ruah-ruah hati dan rasa. Menggenangi paru-paru dengan kata-kata cinta.
“Maksud
Lu apaan?”
Salah
seorang dari temannya merasa pusing dengan kata-kata Hari. Keningnya berkerut-kerut.
Mulutnya terkunci. Lidahnya kaku dan air liurnya tertelan.
“Lu
bedua setuju kan kalo gw bilang bahwa hidup ini tu Cuma sandiwara”
Dengan
gaya Soekarno, tangan Hari maju dan sepertinya menarik sesuatu. Kedua temannya
melirik ke arah Hari.
“Setuju”
jawab mereka kompak.
“Nah
coba lu berdua bayangin, bisa nggak lu pade nih, berlaku kayak temen-temen kita
yang disana?” sambil kedua tangannya menunjuk gerombolan temannya yang
duduk-duduk menunggu giliran test lisan.
“Gw
yakin lu nggak bakalan bisa” potong Hari. Belum sempat kawannya berkomentar
Hari nyerocos lagi seperti seorang ulama.
“Kenapa
gw katakan lu berdua nggak bisa, soalnya hidup kita ni udah ada yang ngatur.
Setiap orang udah punya sekenario masing-masing dalam hidupnya. Cuma, persamaan
umat manusia itu harus bersyukur terhadap segala nikmat yang nggak pernah
disadari. Manusia juga punya tujuan mendapatkan ridho dari Tuhannya”
Begitulah
kehidupan Hari, ia bukan orang pintar. Tapi lebih mengerti hidup karena ia
sedikit banyak berinteraksi dengan orang-orang yang membawa rahasia dari Tuhan.
Baginya, ia akan mengenal Tuhan dan ciptaannya sesudah ia mengenal dirinya
sendiri. Yakni dengan cara menggunakan hukum kausalitas pertama, kedua dan
selanjutnya. Bercermin melihat diri sendiri pada orang lain. Karena cermin yang
paling bagus untuknya adalah orang-orang di sekitarnya sendiri.
Walaupun
Hari lulusan SMEA jurusan Akuntansi, ia lebih senang bermain dengan logika dan
hukum-hukum Tuhan. Sedikit mengerti adanya substansi perasaan akan membantunya
mengenali orang-orang.
Cita-citanya
mungkin terlalu jauh. Tapi Hari sadar bahwa kemampuan dirinya pasti mencukupi
atas suratan takdir. Bakatnya menulis disadari waktu Hari duduk di bangku SMA.
Ia sering menulis dan menulis.
Setiap
pagi Hari pergi ke sekolah, tak satu pun benda yang ia lihat akan luput dari
tulisannya. Memang ketika di kelas, tidak pernah memperhatikan gurunya
menerangkan pelajaran. Tiap mata pelajaran ia lewati denga tidur di bangku
paling belakang. Anehnya, jika saja ia duduk di bangku terdepan, tetap saja ia
tertidur. Pernah juga ia dilempar penghapus oleh gurunya, guru Bahasa Inggris
yang cara mengajarnya kurang disukai sama Hari, berkumis tebal, badannya tinggi
besar dan hitam. Rambutnya keras-keras terbelah dua. Sepertinya gatal kalau
rambut itu panjang dan mengorek-ngorek kupingnya. “Iih amit-amit” kata
Hari dalam hati.
Pak
guru memarahi Hari. Ia disuruh pulang kalau tak bisa jawab pertanyaan dari
gurunya itu. Kalaupun bisa menjawab, Hari boleh belajar lagi sambil tidur. Hari
bersedia. Teman-temannya pun tercengang aneh karena Hari dengan lancar menjawab
pertanyaan dari guru super serious itu.
Banyak
dari temannya penasaran.
“Kok
aneh ya? Kamu yang di kelas Cuma tidur, bisa jawab. Tapi saya yang selama dua
jam melototin nggak bisa jawab. Malahan saya nggak ngerti apa yang
dijelaskan Pak guru.”
Hari
tak bangga diri. Tidurnya di kelas bukan disengaja, tapi memang setiap malam ia
harus ngaji bahkan sampai larut malam sekalipun. Hari juga terus berusaha
supaya kerjaannya dikelas bukan hanya tidur tapi juga berfikir. Tiap hari juga
ia menghapalkan apa yang ia dengar dari gurunya. Meskipun sekali-kali Hari
mendapatkan nilai yang buruk.
Awalnya,
Hari hanya bisa tidur di kelasnya. Tapi lama kelamaan dia juga lebih banyak
menulis bait-bait puisi dari apa yang ada di dalam pandangannya. Membuat cerita
lucu berpesan moral dari pengalaman pribadinya. Hasil karyanya ia kirik ke
kotak mading di sekolahnya dulu. Masa remaja memang lebih asyik membuat
kata-kata cinta daripada kata-kata sebuah kehidupan realitas negara dan agama.
Cita-citanya
semakin terbantu karena sahabat hatinya. Hari berencana bersama teman-temannya
menjadi anggota Forum Lingkar Pena di sebuah kota di Jawa Barat. Langkah yang
bagus. Hari pikir, inilah kesempatan untuknya lebih banyak dan lebih bagus
dalam berkarya. Ia tak akan menyianyiakan kesempatan dan tak akan mengkhianati
kepercayaan dari teman hatinya itu.
***
Lanjutan
Ketiga.
Malam masih tak
berujung ke pagi. Hari terlarut dalam bukunya. Beberapa menit sekali ia
membalikkan satu demi satu halaman buku sakunya itu. Sampai hampir ia
menyelesaikan buku itu satu malam.
Mulut
Hari menguap. Rasa kantuk mulai menempel di kelopak matanya. Retina matanya
memerah menjulur sambai ke lensa mata hitam kecokelatan.
Akan
tetapi.
Sesaat
ia merasakan sesuatu yang bergelantungan di atas punggungnya. Sesuatu yang tak
mau ia lihat dan mungkin tak dapat ia lihat. Tubuhnya terasa ada yang menekan.
Aura negatif di kamar itu semakin kuat. Tubuh Hari menggigil. Bulu kuduk
nya merinding berdiri. Signal sesuatu ada yang datang. Yang ada di bayangan
pikiran Hari adalah...
Sedetik
Hari memalingkan wajahnya dari bukunya dan menangkap semua bentuk yang ia
rasakan tadi. Tak ada apa-apa. Pandangannya menelesuri setiap pojok ruangan
mencekam itu. Ia takut sesuatu itu bersembunyi. Hari bangun dan mengamati
semuanya. Tak ada apa-apa ternyata. Secepat kilat Hari sadar ia harus tertidur.
Pikirannya terlalu terbawa aura-aura gelap di sekitarnya. Sebelum Hari
terlelap.
“Ya
Allah lindungi aku dari kejahatan setan yang terkutuk dan berikanlah aku
petunjuk”. Amiin.
Ruangan
itu sedikit demi sedikit menjadi lebih gelap fade away of lights.
***
Pagi.
Suara ayam baru ia dengar bersahutan. Semalam pun ia tak nyenyak tidur.
Terbangunkan lebih dulu oleh suara dengkuran sahabatnya, Syahid. Hari terdiam.
Duduk di atas ranjang buatan ayah Syahid sendiri. Matanya perih berair. Hari
masih butuh waktu tiga jam lagi untuk memulihkan kesegaran badannya dan
pikirannya. Kepalanya terasa pusing dan wajahnya terasa kotor. Ingin sekali ia
keluar dari kamar bahkan dari rumah aneh itu. Pikirannya semalam mungkin
dipengaruhi oleh kejadian siang kemarin.
Hari
mengusap wajahnya dan menyisir rambut dengan jemarinya.
“Astaghfirullaahaladzim”
ucap Hari mengawali perkataan hari ini. Suaranya lemah. Parau. Kepalanya ia sanggahkan
di kedua telapak tangannya. Dan kepalanya tetap merunduk. Beberapa hendusan
nafas Hari keluar dari mulutnya. Pagi ini apalagi yang membuatnya akan lebih
bingung?
Hari
bangkit. Suara adzan terdengar jauh sekali dari rumah itu. Ia basuh mukanya
dengan air wudhu. Semuanya terasa bersih dan segar kembali. Syahid pun terjaga
dari tidurnya. Dulu waktu di pondok, Syahid memang orang yang susah sekali
untuk dibangunkan tidur. Tapi entah malam itu, warna aura Syahid lebih berbeda.
Tak bisa ia perkirakan apa yang akan terjadi ke depannya.
Berdua
mereka shalat berjama’ah shubuh. Seperti ingatan Hari di pesantren dulu.
Setiap hari, semua santri shalat
berjama’ah di mesjid. Meskipun tidak, kami berdua berjama’ah di kobong
kami saja. Maklumlah dulu Hari dan Syahid sekamar, sehingga kerinduan Hari pada
Syahid pun tak kalah besar dengan kenangan mereka di pesantren.
Keduanya
khusyuk. Suara ayam yang masih bersahutan dengan suara burung-burung malam yang
belum pulang. Dan suara-suara merdu lain menemani dan mengiringi kekhusyuan
mereka berdua. Hingga salam terakhir. Warna religius terhidupkan dari
kenangan-kenangan mereka.
Di
rumah Hari juga. Ia selalu coba untuk hidupkan aroma agama dalam kehidupannya.
Tak hanya sebagai jamuan, akan tetapi agama lebih harus cenderung pada rasa.
Artinya, hidupnya bukanlah kepura-puraan. Yang lebih menonjolkan cangkang
dari pada isinya. Memang kita harus menyesuaikan kulit dan isi, tetapi berbeda
dengan pikiran Hari. Ia menginginkan pada dirinya sendiri agar selalu tak
mengumbar kelebihan dirinya sendiri dalam ajaran agama, berwacana dan
berpolitik. Karena Hari pikir ia tidak akan unjuk gigi selama ia belum
bisa menggigit.
Hari
keluar dari rumah itu. Setelah terlelap dalam kecengangan dirinya. Berenang
dalam hawa yang tak sesuai dengan keinginannya. Hawa yang tak akrab dengan
dirinya. Dan sepertinya masih banyak yang akan terjadi. Mungkin sebagai
petunjuk bagi dirinya. Atau hanya sekedar sumber inspirasinya untuk menulis.
Sarung
yang dipakainya shalat masih melekat di pinggangnya. Hari duduk di kursi kayu
itu lagi. Riuh ramai mulai terdengar. Ia teringat di rumahnya sendiri. Orang
berlalu lalang. Lebih banyak dari mereka pergi ke ladang mencari sumber makanan
atau hanya sekedar memenuhi kewajiban. Memberi nafkah buat keluarga. Satu suap
makanan dari keringat dan kerasnya otot.
Terlihat
seorang lelaki renta memikul cangkul di pundak sebelah kanannya. Kepalanya
bertopi ala khas seorang petani desa. Baju seragam seorang penggarap
tanah-tanah kemakmuran negeri tercinta. Lusuh bertangan panjang. Celananya
seperti terpenuhi bekas lumpur sawah sisa mencangkul kemarin.
Seorang
wanita setengah baya berjalan di belakangnya. Ia menggendong bakul di
pinggangnya. Diikat dengan tali kain ke pundaknya. Sama lusuhnya seperti lelaki
itu.
Melintas
pula anak-anak berseragam putih merah. Wajah yang masih bersih dari dosa.
Keluguan dan keceriaan terdampar di muka-muka generasinya itu. Tak luput pula
lalu lalang sepeda motor. Seorang yang berkemeja pekerja kantoran meramaikan
suasana perkampungan itu. Sebuah kedamaian dan keramahan yang tak terukur
nilainya dengan kekayaan.
Hampir
seperempat jam Hari mengawasi orang yang melintas di hadapan matanya. Kesejukan
pandangan melebihi keindahan gulungan ombak di pantai ujung kulon. Kenang Hari
sambil tersenyum menyapa alam. Selamat pagi kota Cirebon. Sapa Hari dalam hati
di tempat kelahiran temannya itu.
“Selamat
pagi!”
Syahid
keluar juga. Dari tadi ia sibuk membantu ibunya masak. Ia anak tunggal. Jadi
wajarlah ia membantu ibu dan bapaknya. Memasak untuk sarapan pagi. Memberi
makanan ayam peliharaan di belakang rumahnya. Ibunya sibuk mengawasi api kompor
di dapurnya. Ayahnya sudah dari tadi pagi berangkat ke ladang seberang bukit. Jauh
dari rumah Syahid.
“Masih
pagi Mas, jangan ngelamun aja. Bisa cepet tua lho!”
Keakraban
Syahid nampak juga di depan Hari. Ia hanya membalas dengan sekuntum senyuman
cerah di bibirnya. Belum sempat Hari membalas sapa Syahid.
“Ngopi
dulu nih, biar nggak lemes”
Secangkir
kopi hitam dan sepiring makanan ringan khas kota udang disuguhkan di hadapan
Hari. Tak memperpanjang kata, Syahid bertolak lagi membantu ibunya di dapur.
Tak lama Syahid membawa secangkir teh dan duduk di samping Hari.
“Gimana
kuliahmu sekarang?”
Syahid
menyeruak pikiran Hari yang dari tadi terbengong. Perlahan ia menyeruput air
teh hangatnya kemudian meletakkannya di meja. Hari masih diam. Syahid
menepukkan tangannya di atas lutut Hari.
“Kul
gw baik-baik aja dan kayaknya sekarang lebih menyenangkan”
Jawab
Hari sembari menyerobot air hitam di depannya. Ia meneguk perlahan.
“Sekarang
banyak hal yang bisa bantu kuliah gw, jadi gw lebih semangat” potong Hari di
sela-sela meletakkan kembali cangkir kopi. “Pertama, gw jauh lebih tau
kewajiban gw sebagai mahasiswa dan anak dari bapak dan ibu gw. Kedua, ada temen
gw yang ngajakin masuk Forum Lingkar Pena sekaligus gw lebih akrab dengan cewek
yang gw sukai di kelas” papar Hari pada temannya itu.
“Wah!
Kamu bakal punya pacar donk?” tebak Syahid. “Itu baru namanya temen Syahid.
Punya pacar yang bikin kita semangat man. Yang penting, lu jangan ampe
terseret sama jurang cinta dech” seperti memberikan amanat, Syahid mengingatkan
Hari. “Lu juga kan bisa bayak lebih mencari inspirasi dari rasa cinta lu, ya
kan?”
“Ya
Pak Ustadz, tenang aja. Gw pasti bisa ngebedain mana yang lebih penting buat
kesuksesan gw sendiri. Pokoknya do’ain gw semoga aja cita-cita gw sebagai
penulis bisa terwujud. Ok!”
Canda
Hari memecah keseriusan pertanyaan Syahid. Mereka memang lebih banyak
bercakap-cakap dengan bahasa Letter B atau bahasa Indonesia seperti
layaknya orang betawi. Bahasa gw dan lu lebih mengikat kuat keakraban mereka.
Tak ada kain tipis yang menghalangi hubungan emosional keduanya. Setipis kulit
bawang sekalipun. Mereka anggap tak ada kata kasar dalam bahasa itu. Memang
Hari lebih tau.
Tawa
riang mereka kontan terhenti. Syahid dipanggil ibunya. Ia disuruh membeli
minyak tanah di warung depan jalan raya. Tak jauh dari rumahnya memang. “Bentar
ya!” pinta Syahid pada Hari supaya ia jangan dulu beranjak dari tempat
duduknya.
***
Lanjutan
Keempat.
Hari
termenung lagi. Menikmati semua keakraban hati dan keteduahan hiruk pikuk
keramaian pedesaan. Sesekali ia tertawa sendiri. Seperti ada yang lucu. Hari
mengingat teman perempuannya. Ada kerinduan dalam dirinya. Wajah ayu dan
tersimpan sejuta keshalehan seorang wanita muslimah. Tingkahnya yang seperti
kanak-kanak menarik bibir Hari dan memperlihatkan barisan giginya.
Hari
memang tak sengaja menyukai gadis yang sempat tak ia perhatikan sebelumnya.
Dulu ia cuek bebek saja dengan tingkah lakunya sendiri. Hal yang tak
ingin ia lakukan di depan seorang wanita. Atau hanya sekedar mencari perhatian
saja, tak terfikir di benak Hari. Ia lebih suka menjadi dirinya sendiri yang
selalu ceria dengan keadaan apapun. Dan orang-orang di sekitarnya pun lebih
sulit untuk mengenali dirinya.
Awalnya,
ketika Hari mendapat tugas membuat makalah untuk diskusi. Kebetulan waktu itu
Hari sekelompok dengan perempuan berdarah sunda itu. Tak terpikir olehnya akan
ada rasa suka di hatinya. Seminggu waktu belajar bersama. Terbesit pula
keakraban dan wanita itu pun merasa nyaman dengan obrolan dan canda tawa Hari.
Apalagi ketika ia menceritakan kisah asmara denga kekasihnya. Hari tak cemburu.
Ia beruntung mendapatkan gadis yang ia suka dan jujur padanya.
Lama
dan lama. Keakraban dan keseringan berkomunikasi melahirkan perhatian baginya.
Padahal Hari hanya mencoba agar kebersamaan dengan dirinya tidak hilang tak
lebih dari itu. Apakah mungkin dia juga merasakan hal sama? Tanya Hari ketika
ia terhanyut lamunan kesepian. Ah tak mungkin. Dia kan banyak yang suka
termasuk teman-teman yang lebih pintar dari Hari. Percakapan dengan batinnya.
Hingga
sebuah ketidaksengajaan terjadi. Hari berbincang dengannya di tengah waktu
menunggu hujan reda. Kostum warna hijau. Warna kesukaan Hari. Dengan amat menyesal
Hari harus mengungkapkan perasaan pada gadis itu. Hari takut perasaan itu
hanyalah bisikan sesaat yang mungkin saja bisa mengganggu konsentrasi
belajarnya. Rasa cemas dan takut berselimut di pikirannya. Akhirnya gadis itu
pun berkata;
“Jujur
aja, sebenarnya aku juga nyimpen simpati sama kamu. Sesuatu hal yang berbeda
dengan orang lain atau bahkan lelaki yang sebaya dengan kita. Sikap cuek kamu
ternyata menyimpan kepekaan tentang perasaan perempuan. Dan aku harap kamu bisa
mempertahankan sikap kamu itu. Mungkin sampai aku berani untuk menduakan
cintaku.”
Kata-kata
yang tak pernah ia dengar dari perempuan manapun yang ia dekati sebelumnya. Dia
mengerti perasaan Hari dan perasaannya sendiri. Tanpa menyimpan sebuah harapan,
ia mencoba tak menjadikan semuanya menjadi rumit. Perempuan dewasa yang pertama
kali Hari temukan. Hingga dia menyakinkan Hari dengan mengulang kata sahabat
hingga tiga kali.
“Kita
sahabatan kan?”
Setengah
bertanya gadis anggun itu tak menginginkan salah pandangan di pikiran Hari. Hari
setuju. Mereka tetap sepasang sahabat hati. Dan berjanji tak akan memupuk atau
hanya sekedar menyiram perasaan dari kedua hati itu. Akan mereka biarkan
perasaan itu menjalar dengan sedirinya. Mungkin suatu saat perasaan itu akan
mati karena gugurnya daun-daun hijau di dahannya. Atau mungkin pula rasa itu
akan lebih subur mengembang. Daunnya akan meneduhkan orang yang berdiri di
bawahnya. Akarnya menghisap semua keraguan dan rasa saling tak percaya hingga
mengakar ke inti bumi. Berbuah dan berbunga. Hari pun yakin di dunia ini tak
ada yang tak mungkin kecuali bahwa Tuhan itu ada dua. Ia tak akan mengkhianati
kepercayaan seorang teman hati dan sahabatnya. Hanya dianggap sahabat pun sudah
menjadi sebuah anugerah bagi Hari. Tak banyak lelaki yang bisa dekat dengannya.
Selain itu Hari bisa belajar arti sebuah hidup lewat psikologi dirinya.
Aku
akan membantunya. Membuatnya damai di sampingku. Banyak kata terima kasih tak
cukup membalas sebuah kesadaran di hatiku. Tekad Hari sampai saat ini. Ia masih
duduk di pelataran rumah Syahid.
Angin
meliuk-liuk. Menyahut kicau burung kenari. Langit tampak biru merona. Bersih
tanpa gerombolan asap mendung. Deru-deru kendaraan di seberang sana. Tak
terlihat. Dipagari rumah-rumah rapat di perkampungan Buntet Desa.
***
“Aaaaw!”
Hari
terhenyak seketika. Sepertinya jerita anak kecil. Memecah lamunan Hari.
Kerinduannya terhempas. Keanehan kembali terjadi. Suara itu jelas mencekik daun
telinga Hari. Tepat di depannya ia duduk. Sebuah rumah berpagar besi. Pintu
khas jaman dulu. Jendela yang terkoyak. Tergores oleh rayap-rayap waktu
berpuluh-puluh tahun. Temboknya kusam terkelupas. Warna kuningnya lusuh diterpa
hujan angin dan panas.
“Diam!”
Suara
wanita setengah banya meyahut. Menderaskan tangisan sang anak. Entah apa yang
terjadi.
“Praang!”
pecahan piring juga ikut merusuhkan ibu dan anak itu.
“Ampun
Mak! Ampuuun!” mohon sang anak. Seolah meronta dan bersujud meminta maaf pada
ibunya. Bayangan pikiran Hari. Suara anak terhenti. Seorang wanita setengah
baya berpakaian corak kembang sepatu keluar dari rumah sumber jeritan itu.
“Mak,
Endro ikut Mak!”
Anak
lelaki kurang lebih umur lima tahun berlari melompat menangkap tangan ibunya.
Wanita itu berhenti. Membalikkan tubuhnya. Mendorong kepala anaknya ke dalam
rumah. Tanpa berkata bermacam-macam. Wanita itu menutup pintu rumahnya dari
luar. Anak itu berlari dan tak terkendali. Kepalanya membentur pintu setengah
berkaca bening itu. Lalu terjatuh. Sontak tangisannya semakin reda. Entah ia
pingsan ataupun mati di tinggal induknya.
Ibu
itu tak menghiraukan anak lelakinya itu. Wajahnya memerah. Giginya beradu
keras. Mulutnya membungkam kencang. Setengah menahan keinginan anaknya.
Kemudian ia kunci pintu rapuh itu dan pergi. Selintas wajahnya tertangkap oleh
indera Hari. Sedikit kecil matanya. Hampir kehitaman warna kulit di damparan
tubunya. Penutup kepala berwarna hitam mengikat kencang kepalanya. Di tangannya
tergantung tas belanja seperti anyaman. Merah biru dan pink. Wanita itu menoleh
ke arah Hari. Dengusan seperti kerbau kelaparan keluar dari lubang hidungnya.
Hari melonjak kaget dari tempat duduknya. Sejenak ia pikir. Itu kan ibu!.
Hampir kata itu terucap di lidah Hari. Namun wanita itu berlanjut pergi.
Langkahnya setengah seperti seorang lelaki.
Hari
terbengong. Pikirannya kembali memutar. Keningnya melipat seolah tak percaya
melihat wanita di depannya. Lho kok ibu ada disini. Lantas kenapa ia tak kenal
sama aku. Pertanyaan mengganjal benak Hari. Benarkah itu ibu? Menelan ludahnya
sendiri. Keringat membasahi leher dan punggungnya. Badannya gemetar. Tubunya
terasa kaku. Matanya kosong tajam.
Cukup
lama Hari seperti orang kesurupan. Matanya terbuka lebar dan diam. Sampai
Syahid yang baru pulang dari warung pun tak ia hiraukan. Jirigen minyak di
tangan Syahid disimpannya di sebelah meja. Syahid duduk di depan Hari.
Kepalanya ia bungkukkan seolah ingin tahu apa yang Hari lakukan. Lehernya
memutar pandangannya ke kanan dan ke kiri sementara keringat terus mengucur
dari akar rambut Hari.
Ia
lambaikan tangan di wajah Hari. Hari tak berigeming. Syahid semakin aneh dengan
tingkah laku Hari.
“Hallo,
kenapa Har?”
Ia
penasaran kemudian digerak-gerakkannya tubuh Hari yang kaku. Badan Hari basah
bermandikan keringat. Padahal pagi itu sejuk udara pantai. Damai tak seperti
panasnya kota. Kemudian Hari sadar. Segera ia membasuh keringat di wajah dengan
telapak tangannya yang tiba-tiba menjadi dingin.
“Nggak,
nggak kenapa kenapa kok”
Hari
membuang tatapan dari Syahid. Seolah tak ada yang terjadi. Memang tak ada yang
terjadi satu pun.
“Mungkin
kebanyakan ngelamun jadinya kayak gini”
Hari
mengelak dari rasa penasaran temannya. Ia biarkan saja pikirannya terkoyak
sendiri. Sekarang ia tak ingin cerita apa pun pada temannya. Wajah yang mirip
ibunya itu. Syahid hanya mengguratkan senyum. Ia biarkan temannya berekspresi
karena Hari bilang ia sedang berusaha membuat semua yang ia lihat menjadi bahan
karyanya. Entah sebagai novel, puisi ataupun cerpen.
Syahid
mengambil jirigen dan menjinjingnya lagi ke dapur. Hari meniup angin di
sekitarnya dengan kencang. Ia sandarkan tubuhnya. Sudahlah, pikirnya. Mungkin
memang pikirannya terlalu banyak berifkir. Hari pun mengikuti temannya ke
dapur. Sekedar menghilangkan kepenatannya, Hari membantu Syahid dan ibunya
memasak dan membersihkan rumah. Soal bersih-bersih Hari tak segan-segan lagi.
Ia sudah terbiasa dengan kesibukan seorang ibu rumah tangga. Memasak, menyapu
dan mengepel lantai, cuci piring, nyetrika baju pekerjaan yang sudah tak asing
lagi bagi Hari.
“Hid,
kamu sama Hari bantu ibu nyuci piring aja, tuh di belakang”
Ibu Syahid
berkomentar. Ia pun sudah menganggap Hari sebagai saudara kandung Syahid
meskipun waktu itu ia baru pertama kali bertemu dengan Hari. Selain supel
dan fleksibel bergaul, Hari juga pandai mengambil hati orang-orang. Bahkan
teman seperjuangannya mencari gelar sarjana pun bilang tentangnya. Katanya Hari
seperti bunglon. Kemana ia pergi secepat itu ia bisa menyesuaikan dengan
orang-orang di sekitarnya. Jika waktunya serius Hari akan lebih serius tak ada
satu orang pun yang ia biarkan tertawa. Jika waktunya bercanda, ia tak suka
orang yang lebih mengambil hati akan candaannya itu. Hari senang mengkritik
orang, tapi ia juga terbuka jika ia dikritik habis-habisan oleh teman-temannya
di kampus.
“O..ya
Hid, kalo anak kecil yang di rumah depan siapa namanya”
“Emangnya
kenapa gitu?”
“Gak
kenapa-kenapa. Cuma pengen tau ja soalnya lucu sih”
Syahid
diam. Tiba-tiba Syahid berhenti mengusap-ngusap sponge berbusa di
tangannya. Ia kaget dengan pertanyaan Hari. Hari pun diam. Sekilas ia melirik
wajah temannya yang berlalu pergi. Padahal Hari hanya ingin meyakinkan apa yang
ia dengar tadi. Namanya Endro, Hari juga
tahu. Tapi mimik muka Syahid seperti menyembunyikan sebuah rahasia. Saya harus
tahu. Pikir Hari.
Hari
meletakkan piring-piring itu di rak. Tangannya ia usapkan ke lap kering lalu ia
mendekati ibu Syahid. Syahid sendiri menghilang. Hanya suaranya sedang
memanggil ayam-ayam peliharaannya di belakang.
“O...ya
Bu, kalo boleh tau emang kenapa dengan anak kecil tetangga depan?”
Tanya
Hari lebih penasaran. Sambil mengambil piring tempat lauk-pauk Hari mengambil
perhatian dari ibu Syahid.
“Sudahlah,
kamu jangan ngurusi orang lain. Sekarang kamu pikirin aja kuliah kamu. Itu
masalah keluarga mereka sendiri”
Sedikit
sekali jawaban dari ibunya Syahid. Hari merasa ada yang salah dengan
pertanyaannya. Ia gagal mengambil perhatian ibu Syahid. Setelah membatu sedikit
pekerjaan rumah ibu Syahid. Hari pergi ke arah belakang rumah yang agak
terlihat kumuh. Kandang ayam yang lumayan terurus. Syahid berdiri sambil
melemparkan segumpalan beras di tangannya. Tangannya yang kiri memegang kaleng
bekas margarin berisi beras pakan ayam.
Hari
mendekati temannya. Langsung ia merogoh beras dari kaleng itu. Mungkin wajah
Syahid masih menyisakan ketakutan pertanyaan Hari.
“Har,
sorry banget gw nggak bisa jelasin masalah tetangga depan rumah.”
Kaleng
itu diberikannya pada Hari. Kemudian ia menambahkan air di tempat minum kandang
aya jagonya.
“Itu
masalah mereka sendiri. Kita nggak bisa ikut campur masalah kelurga orang,
bener nggak?”
Setengah
bertanya, Syahid meyakinkan temannya agar tidak memperdulikan apa yang terjadi
dengan keadaan keluarga orang. Ia mengusapkan tangannya ke dua belah celana
pendeknya sambil menghampiri temannya. Hari mengerti apa yang dimaksud Syahid.
Tapi masih ada hal lain yang ingin ia ketahui tentang keluarga itu.
“Tapi
kan, masih ada harapan kita membantu masalah mereka. Apalagi kita kan tahu
hukum-hukumnya” lanjut Hari.
“Kita
sebagai perubahan bagi manusia wajib kan kalo kita membetulkan yang kita lihat
sebagai suatu kesalahan?” tekan Hari pada sahabatnya itu.
“Mendingan
kita sarapan dulu, yuk!” ajak Syahid mengalihkan arah pembicaraan Hari.
Hari
mengerti nada pembicaraanya terlalu memojokkan Syahid. Ia juga tahu sebenarnya
di hati Syahid juga mungkin ada rasa prihatin melihat keadaan keluarga itu.
Tapi mungkin Syahid tak berani mencampuri urusan keluarga orang lain. Syahid
beranjak, Hari mengikutinya. Mereka sarapan pagi bersama dengan seribu
pertanyaan tertanam di benak Hari. Mungkin benar juga perkataan Syahid. Tapi
dalam dirinya masih ada kesempatan untuk merubah semua situasi negatif itu.
Seusai
sarapan mereka bergegas mengganti pakaian. Kebiasaan Syahid membantu bapaknya
mencangkul di ladang. Hari turut bersamanya. Menelusuri jalan setapak hutan di
bukit seberang. Mereka membawa peralatan untuk membantu pekerjaan di ladang.
Setiba disana, bapaknya Syahid sedang bergelut bersama cangkulnya membalikkan
tanah yang kering. Tak bertanya lagi, Syahid langsung membabat alang-alang dan
rumput yang meninggi dengan arit di genggamannya. Hari mengumpulkan rumput dan
ilalang itu dengan kayu berpaku seperti garu buatan ayah Syahid.
Kemudian mereka membakar ilalang dan rumput yang kering. Membuat semuanya
terlihat lebih terang. Tapi Hari tak bisa membakar rasa penasarannya pada wajah
wanita yang mirip ibunya.
Tak
terasa matahari telah tegak berdiri di atas kepala mereka. Keringat bercucuran
dari wajah ketiga lelaki bersemangat keras. Rasa gatal dari duri-duri rumput
dan ilalang membaur di tangan dan kaki Hari. Rasa lelah terobati dengan air
kendi yang dingin. Syahid membawanya tadi untuk minum meleburkan rasa dahaga di
tengah terik matahari.
Hari,
Syahid dan bapaknya duduk-duduk sebentar di sebuah saung yang sengaja dibuat
untuk meneduhkan mereka. Hari membaringkan tubuhnya sedangkan Syahid
mengipaskan kerah kausnya. Mengharap udara masuk ke dadanya. Bapak Syahid
sedang berfikir. Akhirnya tugas berladang Hari selesai. Mereka bertiga pulang
sebelum matahari beranjak pergi dari pandangan. Pekerjaan yang sering Hari
lalukan di rumahnya bersama bapaknya.
Jika
saja ia selau di rumah, ia akan selalu membantu ayahnya. Sayangnya, ia hanya
pulang beberapa kali dalam satu tahun. Itu pun tak lama. Dulu sebelum ia
kuliah, Hari pergi ke ladang membersihkan rumput dan ilalang. Menanam pohon
pisang bersama bapaknya. Banyak hasil yang bisa diambil keluarga Hari. Mereka
tak perlu bingung mencari teman nasi. Di kebun milik bapaknya banyak pohon
rambutan, kecapi dan lain-lain. Terkadang seharian Hari bergumul denga tanah
merah.
Ataupun
ia pergi ke sawah di sekeliling rumahnya. Rumah Hari memang dekat dengan sawah.
Di sebelah depan, samping, dan belakangnya adalah sawah milik keluarga turun
temurun. Semenjak kecil Hari sudah terbiasa hidup sebagai seorang petani.
Mencangkul, membajak bahkan menancapkan bibit padi dengan tangannya sendiri.
Hari tak malu dengan gelarnya sebagai seorang mahasiswa. Ia pikir, seorang
presiden pun harus berbakti pada kedua orang tuanya. Tak sedikit pun rasa gengsi
di hadapan teman sebayanya di kampung yang hanya ugal-ugalan pergi tanpa tujuan
dan hasil. Ia lebih senang berdiam di rumah jika tak ada yang harus ia
kerjakan. Daripada menghabiskan bensin yang harganya mahal, lebih baik ia
nonton berita kesayangannya di Metro TV.
Musim
hujan membawa keberuntungan dan keberkahan bagi semua orang. Tak hanya petani,
semua membutuhkan air sebagai bukti rahmat dari Tuhan. Namun sayangnya, tak
mereka sadari bahwa itu adalah salah satu nikmat yang tak dapat dihitung dan
dibalas dengah harga semahal apapun.
Biasanya,
Hari dan bapaknya tak sendirian membajak sawah. Terlalu kewalahan kalau
harus membajak beberapa petak sawah. Bapaknya sering meminta bantuan kepada
tetangga dekat lalu memberikan mereka upah yang sesuai. Banyak orang di sawah.
Ada yang memegang kayu bajak yang ditarik kerbau. Ibunya dan ibu-ibu lain
menanam padi tandur di petak sawah yang tanahnya sudah di haluskan. Hari
memegang cangkul memapas rumput di galengan petak-petak sawah. Adiknya
membantu mengantarkan bibit-bibit padi. Kakak perempuannya hanya memasak di
rumah untuk makan siang para petani-petani. Termasuk Hari.
Pekerjaan
yang melelahkan, tapi mengasyikkan bagi Hari. Tak ada kesempatan lagi untuk
menyia-nyiakan waktu. Saatnya berbakti pada orang tua. Hari pikir, ia tak bisa
membalas kasih sayang orang tuanya. Hanya dengan sedikit tenaga dan taat
mungkin bisa membuat hati kedua orang tuanya senang.
Sebelum
musim panen tiba. Hari dan bapak ibunya memagari sawah mereka denga seseg
semacam pagar tinggi dari bambu yang dianyam agar tidak ada hewan yang memakan
dan merusak tanaman padi. Keindahan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Orang-orangan di tengah sawah berdiri tegak. Kepalanya di pasang dudukuy
topi khas petani. Mengusir burung pipit yang nakal.
Waktu
masih di SD, Hari sering membawa bandil atau ketapel dari cabang pohon
jambu batu. Bersama teman-temannya, ia mengendap-endap di antara padi yang
tinggi berharap ada burung yang kena tembakan batu ketapel meraka. Suasana yang
tak ada di perkotaan. Ia juga sering berpergian ke hutan mencari kayu bakar
kalau ibunya tak mampu membeli minyak tanah. Kebersamaan dalam sebuah pedesaan
yang hampir punah.
Sekarang,
banyak teman Hari yang tidak melanjutkan sekolahnya. Mereka pikir, hanya dengan
lulusan sekolah dasar cukup membekali hidup. Padahal tak semudah yang mereka
kira. Sekedar mencari pekerjaan dan menghasilkan banyak uang, hidup sudah
dianggap bahagia. Pekerjaan mereka hanya berdiam dirumah, menganggur, tak punya
keinginan membuat hidup ini lebih baik. Pergi dengan sepeda motor. Ugal-ugalan.
Kasihan orang tua mereka. Harus dipaksa membelikan mereka sepeda motor
alasannya hanya gengsi agar terlihat seperti orang mampu.
Tak
ada kehidupan sebenarnya. Hari pergi merantau dan akan kembali merubah pola
pikir masyarakat di kampungnya. Harusnya tak ada lagi pemuda yang
malas-malasan. Mengandalkan makan dari kedua orang tua. Sesepuh kampungnya
sudah berkurang. Harus ada penerus yang membangkitkan kerjasama dan gotong
royong ciri khas sebuah kehidupan Islam.
Bahkan
ketika Hari berbincang dengan teman sekampungnya. Ia merendahkan dan meremehkan
Hari. Katanya, masa pemuda seumur Hari tak punya kendaraan bermotor. Pikirnya
mungkin dengan kendaraan bisa mendapatkan perempuan atau gadis dengan mudah.
Hanya senyuman manis dari Hari menjawab perkataan mereka. Hari anggap ia belum
pantas mendapatkan yang tak seharusnya ia miliki. Kewajibannya hanya belajar
dan menerima apa adanya. Harta tak akan membuatnya mulia. Seperti pesan yang
diberikan gurunya ketika di pesantren. Tapi ilmu dan kebersihan hati lah yang
membuat hidup kita akan damai bahagia tanpa ada iri dan cemburu terhadap
kekayaan orang lain.
Tak
hanya kampung Hari. Ia suka mendiskusikan keadaan sosial negaranya dengan
dirinya sendiri atau dengan orang lain. Pendekatan diri kepada Tuhan yang
kurang, menyebabkan semua orang lalai. Meskipun mereka shalat, berzakat, pergi
haji. Namun tak sedikit yang berambisi mengambil hak-hak orang lain. Hari juga
sedikit tidak merasa bangga dengan sistem pemerintahan atau hukum-hukum yang
ditegakkan di negaranya tercinta.
Jika
berdiskusi dengan teman kampusnya, Hari lebih banyak tak menyalahkan orang
lain. Dalam artian, ia merasa penerus pemimpin yang sekarang sudah mendapatkan
banyak kecaman dan cemoohan. Bahkan dari teman bergaulnya sendiri. Maka, ia
hanya ingin memperbaiki suasana hatinya dengan Tuhan dan sosial. Teringat
pelajarannya berbaur dengan sesama mahasiswa yang menjadi anggota sebuah
organisasi gerakan di kampusnya.
Hari
tak akan bisa merubah orang lain, temannya, bahkan negaranya kalau saja ia tak
memperbaiki dan merubah dirinya sendiri ke arah lebih baik. Jika memang
dipertanyakan, Hari akan menjawab bahwa kita harus mengerti dahulu akan
keberadaan kita sebagai manusia dan hidup ini tak akan selamanya. Harus ada
pertanggungjawaban dari semua yang kita lakukan.
Meskipun
Hari masuk sebagai anggota organisasi yang sering demo di kampusnya atau
di sekitar pemerintahan kota, dalam hatinya ia berkata. Buat apa kita
menyalahkan orang. Orang yang kita anggap salah, meskipun ia salah tetapi ada
seribu penyebab yang membuat ia melakukan kesalahan. Cukup memaafkan dan
meyakinkan orang tersebut agar tidak mengulangi kesalahan. Penyebab yang
menjadi alasan mereka. Terkadang Hari ingin mengungkapkan semua benih-benih
perubahan yang ada di benaknya selama ini. Pikirnya, sebelum kita menunjuk
orang lain, maka hal pertama yang harus ia lakukan adalah bercermin.
Teringat
dengan lirik lagu yang dinyanyikan Ebit G. Ade. Katanya, tengoklah ke dalam
sebelum bicara, bersihkan debu yang masih melekat. Memang, kita mesti
membersihkan hati suci lahir dan di dalam batin.
Orang
yang ada di hadapan kita adalah cermin. Kita hidup dengan beribu cermin. Maka
sangatlah mudah jika orang sadar bahwa beribu-beribu cermin memperlihatkan
wajahnya setiap hari. Buruk dan baik bukanlah salah cermin. Apalagi kita
memecahkan cermin tersebut, maka bayangan tubuh kita pun akan hancur. Sebuah
kejelekan dan atau kesalah dalam diri sendiri mesti di kembalikan pada hati
nurani. Tak akan ada perubahan sedikit pun jika kita terus menyalahkan orang
lain dan tak henti-henti membiarkan diri sendiri dalam ketidak baikan.
Alur
filsafat Hari.
Untuk
menuduh orang salah dengan telunjuk kita sangatlah mudah. Tapi ingat ke empat
jari lainnya akan menunjuk pada diri kita sendiri. Cobalah praktekkan sendiri.
Kala Hari berdebat dengan seorang aktivis kampus. Ketika kita satu kali
menyalahkan orang lain, maka empat kali lipat harusnya kita lebih dulu
menyalahkan diri kita sendiri. Sebagai ruang introspeksi bagi umat manusia.
***
Siang
menguras tenaga Hari. Energinya perlu dikembalikan lagi. Rasa lapar menghantui
dan memukul-mukul perut Hari. Cukup makan nasi, ikan asin, sayur asam ditambah
sambal terasi dan lalap-lapan akan mengembalikan gairahnya bekerja. Tak usah ia
makan dengan makan super modern. Lebih menikmati hasil keringat sendiri.
Kenyang.
Ia
teringat dengan gadis di kelas. Waktu ia memberikan cokelat pada Hari. Katanya,
untuk memberi dan memulihkan kembali energi cinta dan meningkatkan rasa kasih
sayang. Padahal hanya membuat gusi Hari keropos. Cokelat yang manis.
Memumbuhkan rasa kasih sayang.
Lima
belas menit kurang lebih berjalan kaki. Mereka sampai di rumah. Sambil melihat
hutan gelap, Hari menghapalkan jalan setapak itu. Sepertinya ia akan menuliskan
karya dari guratan telapak kaki di hutan itu. Hari membersihkan tubunya.
Sepanjang jalan ia menggaruk-garuk tangan dan kakinya. Di hutan itu banyak sekali
nyamuk. Dan onak-onak ilalang rumput kering. Syahid dan bapak santai saja.
Sudah terbiasa. Meneguk kembali air dingin dari kendi.
Buru-buru
Hari shalat ashar. Waktu begitu cepat. Matahari sudah besembunyi. Langit biru
menjadi hitam. Awan putih bersih digantikan oleh tata acak bintang di atas
angkasa. Orion dan Sagitarius.
Selepas
shalat maghrib di masjid tak jauh dari rumah Syahid. Mereka berbincang-bincang
di ruang tengah. Sambil nonton telivisi, Hari menjawab pertanyaan dan obrolan
keluarga Syahid. Ia tak berani lagi menyanyakan masalah tetangga di depan
rumah. Air teh hangat menyegarkan kembali kepala Hari. Sejak tadi siang kelelahannya
memuncak. Ibu dan bapak Syahid menyanyakan kuliah Syahid. Mereka juga berharap,
tahun depan Syahid bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Sama
seperti orang tua Hari, mengharapkan anaknya harus lebih pintar dari kedua
orang tuanya. Kelak anaknya harus menjadi orang sukses dan tak lagi menggenggam
cangkul di ladang dan sawah.
“Kalo
jadi orang pintar plus jujur, kan ndak usah keluar banyak keringat. Ya ndak?”
Pernyataan
dan pertanyaan yang benar. Hari hanya mengangguk seraya menyerobot kue lapis di
atas piring di hadapannya. Mereka berbincang seperti keluarga sendiri, Hari
senang di rumah itu. Namu ada satu hal lagi yang belum hilang dalam pikirannya.
Ibu.
Setelah
shalat isya Hari duduk sebentar di depan rumah bersama Syahid. Ia memperhatikan
rumah di depan matanya. Lampu bohlam yang menerangi sedikit ruang di depannya.
Suasana agak gelap terlihat melintas jendela rumah zaman dulu itu. Sambil curhat,
Hari terus memperhatikan dan mendengarkan suara dari rumah itu. Anehnya, rumah
itu seperti tak berpenghuni. Sepi. Layaknya tak ada kehidupan. Hari membuka
tawanya. Cerita ketika di pondok bersyama Syahid mengembalikan ingatan
kebersamaan mereka dulu hingga sekarang.
Jam 9
malam.
Mata
Hari sudah merasa lemah. Ia menguap. Angin malam mengelusnya. Memanjakannya
dalam waktu rehat yang panjang. Hari langsung masuk kamar sewaktu Syahid
mengunci pintu rumahnya. Sekedar meluruskan punggungnya, Hari menarik ke atas
kedua tangannya dan mengencangkan seluruh otot-otot badannya.
Syahid
ikut berbaring. Matanya masih kelihatan bening.
“O...ya
Har, gimana kabar Linda?”
Wajah
Syahid berhadap-hadapan dengan atap rumahnya. Linda yang ia tanyakan itu,
pacarnya waktu ia masih di SMA. Gadis manis berdarah Betawi itu kebetulan juga
teman Hari. Kadang Hari pun suka menganggap Linda sebagai istri kedua
nya. Gadis berkulit putih itu semampai bagai manapun tatkala bangun tidur. Bulu
matanya lentik meliukkan hati pria di depannya. Seperti halnya Syahid. Tubuhnya
yang tinggi menambah kesempurnaan tipe perempuan yang diinginkan setiap lelaki.
Pakainnya
yang rapi dan stylelist menambah keaggunannya seperti seorang bidadari.
Kerudungnya, baju gamisnya dan gambar bunga di roknya. Sungguh cantik sebagai
seorang wanita. Ia sekolah di salah satu Madrasah Aliyah negeri di kotanya.
Banyak pemuda yang berharap dia akan jadi kekasihnya. Lebih banyak lagi yang
gagal mendapatkan perhatian.
Syahid
yang waktu itu acuh tak acuh melahirkan naluri penasaran seorang perempuan.
Akhirnya mereka pacaran. Hari jomblo. Ia lebih suka membuat Syahid cemburu
dengan menyebut pacarnya dengan istri kedua. Tapi Syahid juga sudah
hafal dengan watak Hari. Ia tak segampang itu merebut pacarnya sendiri.
“Heh,
Linda? Dia baik-baik aja” agak lama Hari menjawab pertanyaan Syahid.
Gadis
yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya sendiri memang pantas buat Syahid.
Ia biarkan Syahid menjalani masa percintaanya dengan Linda. Karena suatau saat
nanti ia akan merasa bosan.
“Dia
sering nanyain lu tau? Kalo gw pulang trus ketemu sama gadis ca-em itu, bukan
nanya kabar gw atau apa kek! Malah nanya gimana kabar Syahid?”
Gerutu
Hari sedikit canda bernada kecewa. “Dasar cinta!” Hari terbahak menertawakan
kesetiaan pasangan sejoli itu. Syahid hanya merenung mungkin rasa rindunya
muncul. Lama ia membayangkan wajah kekasihnya itu. Tersenyum sendiri seperti
orang tak waras. Mungkin wajah Linda nampak di atap rumahnya.
Mereka
tertawa. Saling memojokkan. Tapi mereka juga saling mengingatkan satu sama
lain. Hari juga selalu ingat apa yang sering diucapkan Syahid padanya.
Lebih-lebih perkataan ibunya.
“Kalo
kita udah jadi orang pinter, cewek manapun pasti nyamperin” kata ibunya
menitipkan amanat pertama sebelum Hari masuk kuliah. “Sekarang kamu harus
pinter dulu, ibu yakin kalo udah pinter, cewek cantik banyak yang suka sama
kamu” ibunya seperti mengharapkan mendapat menantu cantik.
Ngobrol
masalah cinta dan perempuan memang tak ada batasnya. Jarum pendek jam dinding
di samping lemari Syahid mengarah ke angka sebelas. Rasa ingin tidur dan
memejamkan mata terhampar di wajah suntuk mereka berdua. Lari angin menyelimuti
rasa lelah. Derik jangkrik jadi bait-bait lagu mengiringi jalan menuju mimpi.
Hari melirik ke arah temannya itu.
“Yah udah
merem!”
Biasanya
rasa kantuk Hari menghilang jika ngobrol masalah cinta dan perempuan.
Pengalaman Hari memang lebih banyak dari Syahid. Dalam diam di ruang lamunan,
Hari mengingat kegilaannya dulu. Menjadi seorang play boy kelas teri.
Yang
paling lucu yang Hari ingat adalah waktu ia menjadi ketua OSIS di Madrasah
Tsanawaiyah. Menjadi orang populer di kalangan guru dan teman-temannya. The
Best and The Top Children. Didukung peringkat di kelasnya yang melambung
jauh dari teman-temannya. Padahal wajah Hari tak seberapa. Tak seganteng
Nicholas Saputra ataupun Tom Cruise. Bentuk muka Hari waktu itu bulat agak
hitam. Rambutnya keras jogjrog. Mata yang sipit seperti layaknya aktor
mandarin Jimmy Lin.
Banyak
teman sekelas atau pun adik kelas yang naksir. Beberapa orang setiap
Hari menyampaikan salam padanya dari orang yang berbeda-beda. Hari menganggap
itu hal yang biasa. Salam hanya salam do’a keselamatan. Semua yang menyampaikan
salam padanya ia berikan salam kembali. Tak salah yang ada di pikirannya.
Mungkin wajahnya yang lucu ditambah berwibawa membuat gadis kecil ingin tahu
atau hanya sekedar mencari perlindungan dari seorang Top Leader di
sekolahnya.
Mereka
kurang beruntung, kenang Hari. Ia pacaran dengan teman kelasnya sendiri
sekaligus bendaharanya di Organisasi Siswa Intra Sekolah itu. Bukan cinta tapi
masih bermain seperti anak kecil bermain boneka atau mobil-mobilan. Ia masih
belum mengerti apa itu pacaran. Ia juga tak tau apa yang harus ia lakukan
sebagai seorang pacar. Waktunya lebih banyak diluangkan untuk kewajibannya sendiri. Kerjasama dengan wakil ketua dan
anggota. Hingga Ulfa, nama pacar pertamanya itu merasa disepelekan. Mungkin.
Dia bosan hingga tak mau lagi bicara atau sekedar bercanda dengan Hari. Berlagak
perempuan dewasa. Menangis karena tak diperhatikan kekasihnya. Hari tak ambil
pusing.
Penyesalan
tak dapat ditolak di penghujung akhir tahun. Peringkat Hari menurun. Tak
seperti sebelumnya yang selau menjadi ranking pertama se-sekolahnya.
Mungkin waktu belajarnya termakan oleh waktu organisasinya atau juga pusing
memikirkan pacarnya yang super cerewet itu.
Lalu
Hari duduk di kelas tiga A. Jabatannya sebagai ketua OSIS sudah ia serahkan
kepada adik kelasnya. Tapi Hari tetap menjadi orang yang terkenal di sekolah
itu. Siapa yang tak kenal dengan Chin, panggilan akrab teman-temannya kepada
Hari. Gelar juara kelasnya ia rebut kembali.
Hari
pacaran lagi. Dengan teman sekelasnya juga. Wanita berjerawat di wajahnya yang
bundar layaknya bola sepak. Wida, gadis gendut dari Tangerang itu sebenarnya tak
ingin dijadikan pacarnya. Tapi teman sekelasnya mendorong dan memaksa Hari
berhubungan asamara dengannya. “Aduh lucu banget”. Hari belum tertidur masih
tersenyum mengingat kenangan-kenangannya. Sebelum ujian sekolah Wida memberikan
selembar tulisan berwarna pink di atas kertas ungu. Ia menerima Hari. Dan
berlanjut tanpa Hari pikirkan. Masa bodoh dengan perempuan dan cinta. Niat Hari
cuma belajar. Kalaupun ada yang suka biarkan saja. Yang penting ia bisa
menghargai orang itu.
Sewaktu
Hari duduk-duduk dengan Wida di depan kelas. Entah apa yang Hari obrolkan. Tak
mengarah dan tak menuju sesuatu apapun kecuali bermain-main dengan kata-kata
cinta. Rayuan maut seorang Hari. Tiba-tiba seorang perempuan hitam manis
berteriak:
“Hariiiiii,
aku cinta padamuuuu!”
“Hariiiiii,
I Love Youuuuuuuuu!”
Hari
tersentak kaget. Jantungnya berdetak cepat. Ia kaget mendengar Kartika
berteriak dengan lantangnya di lantai dua depan perpustakaan. Hari diam. Ia
melihat wajah Wida. Memerah dan mengenduskan nafas marah padanya.
“Tega
kau Har!”
Wida
berlari masuk kelas. Hari masih duduk. Mulutnya terkunci hanya tangannya
berusaha memanggil Wida. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Kartika masih
berdiri di sana tersenyum senang melihat pacar Hari cemburu dan
meninggalkannya. Hari mengejar Wida. Kartika cemburu. Ia jelaskan pada Wida tak
tahu menahu masalah Kartika. Ia juga tak menyangka akan seperti itu. Wida diam.
Tangannya meremas-remas ballpoint dengan kuat. Giginya tertutup rapat. Dagunya
semakin membulat sepeti bola golf. Hari membujuknya dan merayunya. Hari dan
Wida damai.
Ujian
akhir sekolah telah berlalu. Banyak yang ingin Wida katakan. Berita itu sampai
dari teman Hari sendiri. Sebelum ia pergi dan tinggal di rumahnya. Hari cuek
saja. Biarkanlah.
Hari
mendapatkan peringkat pertama sekaligus siswa terbaik. Nilai ujiannya
tertinggi. Ia disuruh masuk SMA oleh kepala sekolah setelah lulus. Hari
menolak, ia lebih percaya pada orang tuanya. Hingga ia masuk ke SMEA di
Rangkasbitung.
Awal
perjalanannya, Hari orang biasa yang sederhana apa adanya. Tak ada lagi wanita
yang menggandrungi dia. Ia rakyat biasa yang dikenal badung oleh
teman-temannya. Beberapa kali Hari berusaha memunculkan lagi hasrat play boy
nya namun tak beruntung. Beberapa kali pula ia ditolak mentah-mentah oleh
perempuan yang ia sukai. Karma dari apa yang Hari lakukan waktu menolak adik
kelasnya di SMP.
Hari
biarkan dirinya sendiri. Lebih banyak berkarya. Menulis puisi dan cerpen-cerpen
kisah cintanya. Ia juga belajar banyak tentang sifat orang-orang di sekitarnya.
Lebih dekat dengan perempuan yang sekelas dengannya untuk memahami tentang
perasaan seorang perempuan. Dan pertama kali pula bakatnya dalam menulis
berkembang dan mencuat di majalah dinding. Karya-karyanya tak mendapatkan
piala. Cukup puas bagi Hari jika orang-orang banyak tersentuh denga
kata-katanya.
Hari
beranjak Hari. Terus menjalani pelajarannya. Matematika dan Akuntansi. Dan
kesibukannya mengaji di pesantrennya. Ia tak punya pacar lagi. Teman-teman
lebih banyak daripada pacarnya. Mereka lebih solid dan care padanya
meskipun ia termasuk orang yang sering melanggar tata tertib sekolah. Hingga
satu sekolah pun kenal padanya. Siswa teladan, siswa biasa bahkan siswa nakal
pun tahu pada Hari. Teman-temannya lebih banyak.
Ia
pikir inilah rahasianya. Pacar tak membantu masalahku dalam belajar.
Pendapatnya, seribu teman tak cukup tapi satu orang musuh terlalu banyak
masalah bagi Hari. Saran dan kata-kata temannya lebih banyak ia serap ke dalam
pikirannya untuk ia olah menjadi prinsip hidupnya sendiri.
Hampir
setahun Hari belajar di sekolah yang kebanyakan siswanya perempuan. Selama itu
pula ia menjadi seorang Jomblo Setia. Berbalik dari kenyataan yang
menimpanya dulu.
Malam-malam
angin dan hujan mengguyur keringat basah penat dan macam-macam masalah. Tadi
siang teman sekelasnya, empat orang mengajak Hari taruhan. Siapa yang selama
sebulan dapat cewek baru itu yang menang. Yang gagal harus traktir
selama satu minggu. Hari setuju. Ia penasaran dengan kejantanannya. Kebetulan
waktu itu ada seorang gadis imut, kecil, lugu dan kelihatan lebih dewasa. Hari
menyukainya. Setiap ia berangkat sekolah, pulang sekolah selalu Hari
perhatikan. Dia sudah punya pacar belum ya? Bisik Hari di telinga temannya.
Selidik-selidik
katanya, Nur, nama gadis lugu itu baru putusan dengan pacarnya. Tak
banyak pikir, Hari langsung menggoreskan tinta cair di kertas putih. Ia katakan
kata cinta padanya kemudian ia akan menunggu jawaban dari cintanya.
Satu
minggu Hari menunggu kabar dari teman-temannya. Malam selasa, setelah harapan
Hari bertumpu pada selembar surat cinta atau hanya sekedar surat kabar dari
temannya. Hari keluar dari kamarnya. Memandangi langit gelap tak ada bintang.
Apalagi bulan. Guratan hitam dan merah melingkar di angkasa. Gemercik air
selokan menemani kecemasan Hari.
“Hari!”
suara temannya.
Bergegas
Hari meninggalkan jendela kamar. Saking terburu-burunya, ia hampir membentur
tiang pintu. Kegelisahan itu terjawa sudah. Jadi atau tidak. Kalah atau menang.
Tak banyak di pikiran Hari. Kekosongan waktu dan kesepiannya ingin mencurahkan
rasa kasih sayang pada orang yang pasti. Hari berlari. Langkahnya seperti kuda
lumping.
“Awas!
Awas! Buat gw nih!”
Teman-temannya
heran. Polah Hari kegirangan. Seperti anak balita dapat permen. Atau kayak
wanita ngidam dapat buah mangga muda. Senyum selalu ke tembok juga Hari
senyum. Malam itu.
“Ssst
ini dari dia”
Temannya
menjulurkan tangannya. Dalam genggamannya kertas putih berlipat-lipat yang
dinantikan Hari. Secepat kilat ia merogoh tangan itu. Merampasnya dan membawa
lari bersembunyi. Di tempat gelap ia harap ada terang. Tak langsung dibaca
olehnya kertas itu. Harap-harap cemas di dadanya. Kemudian perlahan ia
mengusapkan tangan di wajahnya. Nafas besar meniup kertas itu. Lalu dibukanya
lipatan-lipatan itu dan harapan itu akan terlihat. Tertulis:
Dear
: Kamu
Selamat
Malam,
Maaf
seribu maaf tak tertata dalam kata. Sepertinya waktu terlalu cepat berlalu.
Mungkin kita harus menyisihkan lebih banyak waktu untuk lebih mengenal jauh.
Cinta tak semudah yang kita bayangkan. Lagi pula cintaku ini masih milik hati
yang lain. Sekali lagi maafkanlah. Aku tak bisa
From
: Noer
Jantung
Hari copot. Hatinya retak tak bisa dieratkan lagi. Kebetulan musim hujan.
Halilintar dari langit neraka menghantam ubun-ubunnya. Air dari langit tak bisa
dinginkan suhu tubuhnya. Terlalu panas tubuhnya hingga keringat dingin menetes
tepat melewati alis dan jatuh. Menabrak kertas itu dan tembus. Hari menutup
cepat gulungan tulisan itu kemudian ia masukkan ke dalam lemari pakaiannya.
Sebagai resensi jika ia diterima nanti.
Ruhnya
menggelepar-gelepar di atas derita cinta. Tubuhnya terkoyak memikirkannya.
Sungguh sangat malang, Hari. Berbaring di atas tikar pandan. Dadanya serasa
sesak tak bisa bernafas. Perutnya menekan ke dalam seolah ada yang menghantam
ulu hatinya dari atas tubuhnya. Lututnya kram. Urat mengencang dan mengumpul di
bawah mata kakinya. Biru lebam
Malam
ini amat terasa panjang. Ingin cepat menemukan terang matahari. Mungkin karena
tak ada bintang fortuna malam ini. Jam waker di sebelah atas kiri Hari masih
jauh menujukkan jam enam. Kurang lebih sepuluh jam lagi Hari akan menemukan
cahanya. Malam ini tak akan berlalu begitu saja. Detik detak jam membantu
cepatnya denyut nadi Hari. Ia menatap tajam cicak yang menertawakannya.
“Hei
Hari, sekarang kamu bukan kamu yang dulu. Yang seenaknya mempermainkan perasaan
perempuan” seolah cicak itu melecehkannya. Lalu Hari membuang cicak di atas
mukanya. Ia pindah. Sekarang genting dari tanah liat. Banyak genting yang
menatap rona kesedihan di wajah Hari.
“Sudahlah
jangan terlalu dipikirkan. Hidup kamu pasti hancur” mereka pun ikut bergabung.
Menikmati pemandangan manusia yang punya banyak akal, tapi kalah oleh satu hal
yang paling kecil dunia ini. Mereka terbahak-bahak sambil menggantung di atas
reng-reng dari bilah bambu.
Ingin
rasanya Hari melempar genting-genting itu dengan giginya. Supaya mereka tak
bicara sembarangan. Kemudian ia pejamkan matanya tak ingin melihat ada yang
berbicara lagi di depannya. Semenit ia pergi dari tempat itu. Dilewatinya massa
ruang dan waktu. Ia berdiri tak tahu entah di mana. Hari menatap seluruh tangan
dan kakinya. Pakaiannya yang berubah warna menjadi putih bersih. Ia melihat ke
atas lagi. Takut cicak dan genting itu masih menggantung. Ia memutar tubuhnya
dan tak ada satu pun gigi genting yang menggantung dan tak satu pun cicak yang
menempel. Ia lempar semua pandangan ke semua arah tubuhnya, tak ada satupun
warna yang beda. Atau hanya sekedar batas ruang putih itu berujung.
Tiba-tiba...
Makhluk
berkostum putih pula muncul mengagetkan keberadaan Hari. Badannya besar,
kepalanya botak dan dagunya sedikit berjanggut. Ia bertanduk, matanya hitam
hidungnya besar dan mulutnya lebar. Hari berlari. Makhluk raksasa itu
mengejarnya lebih cepat dari Hari. Dan berada di depan Hari lagi. Seterusnya.
“Hai
anak manusia, sedang apa kau di sini?”
“Pergilah
dari duniaku, aku tak suka melihat kesedihan di matamu itu”
“Kalau
kau tak pergi, aku akan membuat resep baru makan malam hari ini”
“Hee...He...”
Jin
itu seketika menghilang. Mungkin membeli sayuran atau hanya sekedar meminta
bumbu pada tetangganya untuk memberikan aroma kelezatan pada tubuh Hari. Atau
mencampurnya dengan wortel dan segumpal jamur kelapa. Mungkin kulit Hari akan
terasa lebih nikmat di malam ini.
Keringat
panas dan dingin keluar dari mulut Hari satu patah kata pun. Hari berlari tanpa
arah hingga tak menemukan satu pun pintu keluar. Hampir terjatuh, ia kelelahan
melewati rintangan berupa asap dan ruang yang sangat luas itu. Hari tak dapat
keluar. Sedikit sekali cahaya yang masuk dalam matanya.
Ia
keluar dari mimpi lewat mulutnya. Menganga dan mengluarkan angin kepengapan.
Makhluk seperti jin pun tak menerima Hari sebagai seorang tamu di dunianya
karena hati Hari terbelit perempuan.
Hari
tak menyerah. Masih ada waktu tiga minggu lagi untuk pedekate. Ia juga
tak terlalu pusing jika saja ia kalah, cukup mengeluarkan uang perhari dua
puluh ribu rupiah selama satu minggu. Kalaupun menang ia cukup senang dengan
kembalinya kejantanannya.
***
Lanjutan
Kelima.
Lewat
satu minggu ia berfikir. Dilanjutkan atau tidak. Kalau tidak, ia takut dianggap
cemen sama teman-temannya. Ia coba lagi merebut perhatian dan kasih
sayang, atau hanya sekedar cinta di hati Noer. Informasi yang Hari dapat,
katanya dia sedang perang besar dengan mantannya. Wah asyik dong! Teriak Hari
dalam pikirannya.
Ia
untaikan lagi kata-kata mesra. Menyentuh berharap dapat menjadi sebuah obat
bagi Noer. Tawaran yang beresiko tinggi. Akhirnya Hari pun dapat meluluh
lantahkan hatinya dengan segudang perhatian dan cinta kasih.
Mereka
berjalan bersama. Bercumbu dan saling berkomitmen. Hampir dua triwulan Hari
mengguyurkan rasa kejantanannya yang selama ini ia pendam. Hari pun sering
mengantarkannya pulang ke rumah. Sedikit pengalaman tertanam dalam dirinya.
Hingga
ia tahu, kekasihnya itu hanya sekedar melayani dan menanggapi ucapannya belaka.
Ternyata perhatian dan pengertiannya masih ia berikan pada kekasihnya yang
dulu. Maklumlah dia seorang anak kiyayi, ganteng, punya kendaraan dan cakep
plus tinggi. Sayangnya perhatian itu dianggap remeh.
Hari
tertusuk paku gada. Rambutnya semakin meninggi dan mengeras. Pikirannya
mengalun kemana entahlah. Ia tak sadarkan diri. Beberapa guratan silet ia
tancapkan di tangannya. Ia hisap darah itu dengan ketenangan.
Ia
kecewa. Tapi biarlah. Hari teringat kesediaannya menjadi pengobat hati. Ia
sadar selama berbulan-bulan. Hari berhenti merusak tubuhnya dengan asap
kecanduan. Lebih banyak merenung dan memikirkan dirinya sendiri. Yang terlah
berlalu biarlah lewat begitu saja. Cukup didengarkan dan tak perlu ia rasakan
ke ulu hatinya.
Introspeksi
dalam dirinya mengubah jalan hidupnya. Tak ingin lagi ia memikirkan masalah
perempuan. Dan tak ia sadari, kesadarannya itu membuat kekasihnya mengerti
semua pengorbanan yang dilakukan Hari benar-benar untuk dirinya. Kata-kata maaf
menghiasi bibir gadis lugu itu dan Hari menerimanya.
Hampir
tiga tahun rasa kasih dalam diri Noer semakin mendalam. Menelusuri karang laut
dan jurang dalam teluk samudera. Mungkin terbesit rasa penyesalannya
menyia-nyiakan Hari. Seperti kekasihnya yang dulu menyia-nyiakannya.
Ia
sudah yakin hubungan ini akan membawa jalan Hari lebih benar. Kerinduan dan
kemanjaan seorang perempuan membuat pikiran Hari terganggu. Hingga suatu ketika
Noer meminta Hari agar segera menikahinya. Hari memang mencintainya, tapi
tekadnya memperbaiki diri dan belajarnya mencari ilmu dan tidak menyepelekan
kasih sayang orang tuanya. Ia tak ingin menolak, tapi waktu masih terlalu dini
untuk menjalani jalan yang panjang. Ia meyakinkan kekasihnya itu bahwa semua
masalah tak akan terselesaikan jika masih membawa ego masing-masing. Perbaikan
diri dan niat yang baik mestinya menjadi jalan keluar. Cukuplah sudah. Pikir
Hari. Ia tak ingin membuat kesalahan dan membuat orang merasa bersalah. Hingga
Hari memutuskan untuk pergi menjauh. Menjalani perjalannya sendiri.
Menghentikan sementara jalinan yang pernah ia rasakan. Waktunya untuk merubah
semua dan tak ingin terlarut dalam cinta. Saat ini Hari masih sendiri.
Berbaring di kamar Syahid.
Hari
akhirnya terpejam. Matanya menutup semua kenangan manis dan memori pahitnya. Ia
mengalir.
***
Lanjutan
Keenam.
Minggu
pagi.
Hari
cerah. Matahari setia menemaninya. Cukup pas untuk melakukan lari pagi. Syahid
mengajak Hari berjalan-jalan sambil lari kecil. Kaus putih di badannya dan
handuk kecil setengah mengikat di lehernya. Hari mengencangkan tali sepatunya.
Hari itu memang libur untuk semua orang. Berkumpul dengan keluarga menyisihkan
waktu yang tersibukkan. Bapaknya Syahid pun tak pergi ke ladang. Khusus untuk
Hari minggu ia hanya pergi mancing di danau agak jauh dari kampung Hari. Terasa
ceria hari libur itu semua ramai menyegarkan semua pandangan membeningkan semua
rasa sesal dalam hati.
“Hid
buruan!”
Teriak
Hari ke dalam rumah. Dari tadi Hari menunggu Syahid mencari handuknya.
“Sebentar!”
Jawab Syahid dari dalam rumah.
Sambil
lompat-lompat kecil, Hari melakukan pemanasan supaya kakinya tak kram. Senam
kecil ia peragakan di depan rumah Syahid. Cukup lama ia menggerak-gerakkan
tubuhnya. Syahid belum juga muncul. Hari menghadap rumah depan tentangga
Syahid. Tak terdengar lagi suar jeritan dan tangisan anak kecil. Ataupun bentakan
dan makian dari wanita tua yang hampir mirip ibunya.
Dengan
tangan tersanggah di pinggangnya, Hari memperhatikan semua gerak kaku rumah di
depannya. Ia hanya mendengar canda tawa anak yang kemarin itu dengan
kakak-kakaknya. Seorang anak lelaki kira-kira berumur tiga belas tahun keluar
dari pintu samping rumah itu, mengejar di tangan adiknya yang membawa sebungkus
kue. Mereka sepertinya ceria. Berlari mengelilingi rumah dan masuk lagi dari
pintu depan.
Suara
tawa anak perempuan lebih kecil dari kedua anak yang berlari tadi memecahkan
keceriaan. Mungkin. Ia sedang bercanda dengan saudara kecilnya yang kemarin
Hari lihat mengejar ibunya. Ia menggelitik adiknya, merebut mainannya hingga
adik kecil itu menangis.
“Mas
Erii! Mas Hendra!”
Anak
bungsu itu memanggil kakak pertama dan kakak keduanya. Sambil menangis kencang,
ia minta perlindungan dari kakaknya. Yayu, kakak perempuan satu-satunya itu
terus mengganggunya. Ia menangis lebih kencang. Yayu coba menghentikannya
sementara Eri dan Hendra masih kejar-kejaran.
“Dieem!”
Yayu
membentak adik kandungnya itu. Ia masih tetap menangis. Beberapa kali adiknya
itu ia caci. Mulutnya capek. Tangan Yayu mendarat di kepala adik bungsu itu.
Endro semakin keras menangis. Ia menjitak adik kepalanya yang hampir tak
berambut.
Mulut
Endro menganga lebar. Air liur keluar dari dua sisi bibirnya. Sejenak tak ada
suara yang keluar. Urat lehernya terlihat kencang. Perutnya menekan semua
udara.
“Aaaa...Hee...”
tangisan kencang anak bungsu itu menghentikan langkah dua kakak yang lainnya.
Eri melihat Yayu menjitak kepala adik bungsunya. Ia menghampiri Yayu.
Tak
bicara apa-apa, Eri langsung medorong kepala Yayu sampai ia jatuh. Kepalanya
membentur lantai. Yayu menangis. Mungkin merasa bersalah. Eri tertawa ia juga
merasa lega sudah bertindak adil. Rasa ingin membalas dari adik kecilnya ia
lampiaskan. Ia mendorong lagi kepala Yayu. Yayu terjatuh lagi. Eri menekan
kepala Yayu ke lantai. Ia merasa belum puas melampiaskan marahnya karena kuenya
direbut kakaknya. Hendra yang dari tadi menikmati kue rampasan dari tangan
adiknya, melihat Eri sedang menyiksa adik perempuan berkulit hitam manis itu.
Kue
itu dilemparkan kencang-kencang ke wajah Eri. Kemudian mendekati Eri dan
menamparnya. Hendra memukul pelipis Eri dengan sekuat tenaga. Eri terisak kesakitan.
Ia menjerit. Sambil memegang matanya yang berair, Eri tersungkur mencoba
mengobati rasa sakitnya. Hendra, kakak sulung mereka tertawa melihat ketiga
adiknya menangis. Mungkin puas. Lama-kelamaan ia pun merasa bising dengan
tangisan adik-adiknya.
“Diaam”
Bentak
kakak sulung mereka. Dengan nada beringas, Hendra menendang ketiga adiknya
sekuat tenaga. Tangisan mereka memecah langit. Gemuruh angin dan deru-deru
mesin terkalahkan.
Hari
masih berdiri. Tangannya tak lagi menopang di pinggangnya. Ia duduk di bangku
sambil menarik handuk di lehernya. Ia kesal dengan yang terjadi. Kemana
bapaknya? Tanya Hari dalam pikirannya.
Tiba-tiba
wanita yang mirip ibunya itu datang dari sebelah kanannya. Membawa belanjaan
yang penuh dengan sayuran dan kantong plastik menambah beban tangan kanannya.
Hari mencoba sedikit menyunggingkan pipinya dan melebarkan bibirnya. Sia-sia
usaha ramah dari Hari. Wanita sentengah baya itu seolah tak melihat Hari.
Mukanya garam. Tak sedikipun rona tegur sapa dari wajah wanita itu.
Ia membuka
pintu rumahnya. Ketiga anaknya sedang menangis keras. Ibu itu meletakkan
jinjingannya di samping pintu. Ia merasa pusing dengan tangisan ketiga anak
itu. Ia melihat kakak sulung mereka sedang duduk santai di dalam rumah seolah
tak tahu menahu. Pura-pura.
Wanita
itu mendekati anak sulungnya. Ia langsung menampar pipi anaknya itu. Kepalanya
ia benturkan ke atas meja makan dari kayu. Ia sudah mengira tangisan tiga
anaknya itu karena kakak sulungnya tak ada rasa ada rasa ingin menyelesaikan
tangisan itu dengan ramah dan kasih sayang seorang ibu. Tangisan pun kian
meramai. Tangisan tak terhenti dengan tangisan. Semua anak-anak itu takut
dengan ibunya yang sudah merah padam wajahnya terbakar api kebencian.
“Bapaaak!”
Teriak
anak terkecil memanggil bapaknya. Mengharap ada yang lebih bertindak sayang
padanya. Ia berteriak lagi hingga ibunya tambah geram.
“Diam!
Bapakmu sudah mati”
Dengan
keras ibu itu menyahut teriak anaknya. Tak ada lagi kedamaian seorang pemimpin
rumah tangga. Tak ada yang mengarahkan. Tak ada yang membimbing. Tak ada yang
mendidik. Figur seorang ayah yang menghilang dari keempat anak itu. Entah
kemana pelindung keluarga mereka.
Pemandangan
mengerikan di mata Hari ia melamun lagi. Duduk berkeringat dingin sebelum ia
lari pagi.
“Ayo!”
Syahid
keluar. Akhirnya menemukan ia menemukan pula handuknya. Teguran Syahid
memecahkan pandangan Hari. Tak ada lagi waktu bertanya pada Syahid. Hari
berdiri dan mengikuti langkah lari kaki Syahid. Hari meninggalkan rumah kejam
itu dengan tatapan mukanya.
Hari
dan Syahid menelusuri lorong-lorong rumah. Jalan besar yang tak dilihat Hari
pertama kali masuk lorong itu muncul lagi. Keanehan dalam pikirannya. Hari tak
bertanya lagi. Ia diam berlari menyegarkan tubuhnya. Dengan seribu bahkan
sejuta penasaran dan ingin merubah keadaan yang tak nyata baginya.
Cukup
jauh mereka berlari. Di kota itu biasanya tempat yang paling ramai dikunjungi
para pemuda, bapak-bapak dan ibu-ibu, anak kecil dan para pedagang adalah
alun-alun kota yang letaknya cukup jauh dari kampung Syahid. Tapi banyak saja
di antara mereka yang datang hanya sekedar cuci mata atau benar-benar
merasakan udara pagi Kota Udang itu.
Matahari
menaiki punggung Hari. Mereka masih berlari mengikuti arah jalan raya ke
alun-alun kota.
Hampir
satu jam mereka mengatur langkah dan nafas. Sampai pula di alun-alun kota.
Sudah banyak orang di sana. Berlari mengelilingi lapangan sepak bola. Bermain
basket, volly dan tenis. Lebih banyak lagi mereka yang berdua-duaan. Meneguk
rasa haus hasil keringat di jalan. Hari dan Syahid duduk di bawah pohon kecil
samping trotoar jalan. Keduanya meluruskan kakinya.
Hari
menekan setengah tenaga lututnya yang terasa kencang. Kemudain ia menyeka
keringat di wajahnya. Handuk yang ia bawa basah kuyup oleh keringatnya. Hari
melihat arloji di tangannya.
“Udah
jam sembilan”
Mereka
terlalu siang lari pagi dari rumahnya. Panas terik mulai mendorong dan membuka
pori-pori kulit yang tergarang matahari. Syahid menghampiri kios kecil di
sebelah kirinya. Agak jauh dari pandangan Hari. Mereka minum air mineral yang
dibeli Syahid.
Hari
melihat orang-orang yang berkeringat. Mereka minum es dan makanan berlemak.
Hari ingat dengan kata-kata gurunya. Makanan lemak kurang baik jika dikonsumsi
terlalu berlebihan. Meskipun tak ada pelajaran biologi, sedikit banyak ia tahu
tentang kesehatan.
Setengah
jam mereka memandangi keramaian dan kesibukkan orang-orang. Hari dan Syahid
pulang berjalan kaki setelah urat betis mereka kendur. Cukup jauh memang. Tapi
lebih baik berjalan dari pada naik kendaraan. Otot yang telah menegang itu
harus direfleksikan dengan gerak yang teratur. Pukul sebelas menjelang dzuhur
mereka tiba di rumah Syahid.
Hari
membersihkan keringatnya dengan air kamar mandi yang terasa dingin. Kemudian ia
bersihkan pikiran dan hatinya dengan air wudhu. Bersiap-siap langsung
mengerjakan shalat dzuhur. Ia mengenakan sarungnya lagi. Dan berdo’a dengan
khusyuk mengaharap pengampunan pada Tuhannya dan meminta agar kedamaian
diberikan kepada keluarga yang carut marut. Penilaiannya pada tetangga Syahid.
“Allaahumma
Ij’al Hadza Baladan Aaminaa”
Penutup
do’a Hari. Setiap shalat ia meminta pada Tuhan agar memberikan jalan keluar
menyelesaikan permasalahan kehidupan di negeri Indonesia tercinta. Memberikan
pertolongan kepada mereka yang belum mengetahui jalan lurus sebuah hidup dan
mempersiapkan semua bekal dalam kehidupan akhirat yang abadi.
***
Lanjutan
Ketujuh.
Malam
kembali menaungi Hari. Siang bertukar. Matahari ada di belakang bumi. Lautan
menjadi deras dan batu karang terkikis. Bukit terlihat gelap dan bintang
menaburi lapangan luas antariksa.
Sendi-sendi
tulang tulang punggung Hari terasa pegal. Digerakkannya leher. Suara tulang
beradu dan menjauh. Terasa kembali lega. Sum-sum tulang belakang Hari mungkin
telah membiru. Urat-urat syaraf di otaknya kusut. Beribu informasi tak sampai
pada neo korteksnya. Akar-akar rambutnya kering. Darahnya menjadi hitam dan
mengeras. Hari terkulai. Di bawah naungan mimpi ia berjalan-jalan di taman
surga.
Hari
mengelilingi taman itu. Lalu diperhatikannya setiap bayangan putih di depannya.
Air tawar mengalir. Dingin terasa di telapak kakinya. Hari ke luar menghirup
udara. Ia berjalan di tanah setapak langkahnya. Sejenak ia berhenti menghisap
aura segar di hidungnya. Lantas ia berjalan lagi.
Di
tengah derap langkah di antara tanaman kokoh pohon-pohon beringin. Hari
berhenti. Dilihatnya sebuah rumah. Seperti tetangga depan Syahid. Ia melihat
semuanya. Ibu dan empat orang anak. Anak terkecil menangis di pukul kakak
perempuannya. Lalu ia menjerit pula ditendang kakak keduanya. Kakaknya pun
meronta kesakitan dihantam kepalan tangan saudara tertua mereka. Pelipisnya
berdarah dan matanya biru lebam. Ia pun turut menjerit kesakitan. Seperti orang
gagu, saat kepalanya dibenturkan oleh ibunya ke atas meja.
Wajah
ibu itu geram. Memukul semua anaknya.
Hari
terperanga. Ia melotot. Hendak ada satu kata yang terucap dari pangkal
tenggorokannya. Air matanya menetes, terasa berat melihat semua itu. Dagunya
bergerak turun naik mencoba mengucapkan satu kata saja. Seperti ada rasa sesak
di dadanya. Tak keluar sedikit pun suara atau udara. Air matanya semakin deras
memecahkan udara hampa di dalam paru-parunya.
“Ibuuuuuuuu!”
Hari
berteriak kencang. Mulutnya tak bisa berucap. Nafasnya berkerumun keluar dari
pita suaranya. Tapi tak ada suara yang ia dengar. Tak pula ibu itu mendengar
jeritan hati Hari. Ia semakin lemah. Hatinya terasa pahit. Ludahnya terasa
masam. Hari duduk dengan kedua lutut menopang tubuhnya. Lalu tertunduk. Seolah
menyesal tak bisa mengantarkan kata sanubari ke wanita itu. Lebih dalam ia
terisak dengan sendu nafas hidungnya. Hari menengadah ke langit dan ia
berteriak lagi.
“Jangan
Bu!”
Suaranya
memecah langit putih. Entah suara Hari terdengar atau tidak. Hari tersontak
bangkit dari tidurnya. Air tangisan dalam mimpi membanjiri kedua belah pipinya.
Sesak pita suarnya tak bisa keluarkan kata-kata. Keringat membasahi dahi dan
lehernya. Terlihat seperti orang yang sudah berlari jauh atau sudah mengangkat
beban yang sangat berat. Nafasnya terengah-engah. Kemudian menggenggam
wajahnya. Menyentuh sudut matanya.
Air
mata ini? Keringat ini? Dan ibu itu? Ungkapnya dalam hati. Lantas di manakah
aku sebenarnya? Lanjut sisa kata hatinya. Ia menoleh ke sebelah kanan dan
kirinya.
Syahid
terjaga dari pulas tidurnya. Dengan mata yang mengecil terhimpit malam, ia
menghadapkan tatapannya ke wajah Hari. Keningnya menciut dengan mata setengah
terbuka menghadang silau cahaya lampu.
“Ada
apa Har?”
Tanya
Syahid penasaran. Hari masih duduk. Kakinya membujur kaku. Air matanya habis menyisakan
lebam di ujung kantung air mata. Warna pipinya berpindah jadi kelabu. Bibirnya
kering putih. Pucat. Syahid menggerakkan lengan Hari. Ia seakan mendengar
jeritan dalam mimpi Hari.
“Kenapa
kamu. Kok teriak-teriak sih?”
Tanya
Syahid lanjut. Hari hanya menggelengkan kepala. Ia tak mau bicara lagi atau
memang tak mampu membuka mulutnya. Syahid menutup telinganya dengan selimut
seraya membaringkan tubuhnya. Hari bergerak dari tempat tidur. Keringatnya ia
biarkan meleleh di tubuhnya. Hari berjalan membuka pintu kamar. Ia rogoh gelas
di rak dan menuangkannya dengan air kendi yang dingin. Nafasnya benar-benar
lancar. Hari ingat mungkin ia tak membaca do’a sebelum tidur. Ya Allah Ya
Rosulullah. Ucapnya meninggalkan dapur dan pergi ke kamar. Dilihatnya Syahid
sudah terlelap. Ia berdiri sejenak. Melihat tempat udara masuk di atas jendela.
Bayangan bulan terlihat olehnya masuk menerobos ventilasi udara lalu menusuk
lensa matanya.
Hari
mencoba menenangkan pikirannya. Ia teguk lagi air putih yang ia bawa dari dapur.
Rambutnya tampak amburadul. Ia kosongkan semua unek-unek dalam
hatinya. Ingin merasakan tidur sekejap. Bersiap menghadapi jika esok akan ada
sesuatu yang akan membuat pikirannya semakin ruwet.
Ia
baringkan lagi tubunya di atas bantal yang sudah terbahasi keringatnya. Matanya
lurus sekejap.
“Bismika
Allaahumma Ahyaa wa Aamuut”
Hari
terpejam lagi. Semuanya mungkin ada yang mengatur. Kesalahan sekecil apapun
mendapat teguran dari Tuhannya. Kesadaran yang membuat hidupnya damai.
Esok
hari.
***
Lanjutan
Kedelapan.
Awan
beruap-uap menghidar dari tampaknya matahari pagi di sebelah timur. Kesibukkan
tiba lagi. Semua orang ramai dengan pekerjaannya masing-masing. Burung kenari
memanggil pendengaran Hari. Angin kecil menyusup ke samping telinganya. Masuk
lewat jendela kamar Syahid.
“Nggak
mau bantuin Ibu lagi?”
Tanya
Syahid mengagetkan Hari. Dari tadi ia sedang mencorat-coret kertas kerjanya.
Keanehan yang ia lihat waktu masuk lorong kampung itu dan wanita yang mirip
dengan ibunya serta anak-anak yang ditinggal seorang ayah, ia tuliskan untuk
bahan karya fiksinya. Meskipun meyedihkan hatinya, ia mencoba menafsirkan semua
pengalamannya dalam tulisannya. Hari meletakkan ballpoint-nya sejenak lalu
menatap Syahid yang berdiri hampir terhimpit pintu kamar.
“Boleh
kalo gw duduk di sini aja?”
Busur
senyum ia tusukkan ke mata Syahid seolah meminta pengertian darinya. Ia yakin
sahabatnya itu mengerti apa yang diinginkannya setelah ia melihat kejadian tadi
malam. Syahid pun membiarkannya. Kemudian ia menutup pintu kamarnya. Di
pikirannya mungkin hanya untuk menghargai keinginan Hari menulis. Wajarlah
hampir lima tahun mereka bersahabat hingga tak ada lagi rasa canggung ataupun
tak tahu keadaan pikiran mereka masing-masing.
Pintu
tertutup rapat lagi. Sementara udara terus mengembus dari jendela. Pikiran Hari
sudah tenang. Ia goreskan semua cerita yang akan ia buat sebuah novel. Mungkin
bisa menjadi bahan skripsinya nanti atau hanya sekedar memenuhi permintaan dari
dosen. Selebihnya, Hari menginginkan bakat minatnya dalam menulis dapat
tersalurkan lewat kegiatannya mengikuti organisasi penumbuhkembangkan niatnya
menjadi seorang penulis yang tak hanya menulis, tapi juga menyebarkan pelajaran
agama dan tentang kemanusiaan.
Ia
memang tak ingin keluar Hari itu. Takut semua yang ia lihat dapat membuyarkan
pikirannya lagi. Memang tak seharusnya begitu, tapi Hari pikir mungkin jalan
yang terbaik bagi Hari memulai cerita di kota Cirebon. Banyak sekali yang ia
tulis hingga harus menghabiskan tinta ballpoint hitam miliknya. Biasanya,
meskipun tak sedang kuliah, ia terus membawa banyak ballpoint. Hanya untuk
cadangan alat tulisnya. Ia rogoh lagi tasnya. Beberapa ballpoint warna biru,
hitam dan spidol merah selalu memenuhi tasnya itu kemudian ia lanjutkan lagi
ceritanya.
Teringat
tugas seorang dosen di kampusnya. Tepatnya pada mata kuliah Pengantar Sastra
yang harus menyelesaikan sebuah novel sebanyak 150 halaman. Kurang lebih yang
Hari ingat, tugas itu diberikan ke seluruh mahasiswa dua bulan yang lalu. Tugas
yang cukup berat baginya.
Sebelumnya
ia tak pernah menulis novel ataupun hanya lembaran cerpen. Ia lebih suka mengotak-atik
logika dalam kata yang tergantung dalam bait-bait puisinya. Baginya ini
tantangan baru. Meskipun memberatkan dan mustahil mengerjakan novel yang cukup
tebal dalam waktu dua bulan. Jika saja ia seorang novelis handal, mungkin tak
perlu memberikan waktu begitu lama. Cukup tiga hari, ia akan menyelesaikan
novel setebal apapun. Tapi, meskipun Hari memiliki bakat menulis, terkadang ia
malas membaca hingga sedikit sekali cerita ataupun karangan ilmiah yang bisa ia
tuliskan. Tugas pengganti UTS itu ternyata membawa hikmah pula akhirnya. Hari
sadar bahwa untuk menjadi seorang penulis, ia mesti banyak membaca dan membaca.
Ia juga menginginkan tak hanya ingin membuat novel yang begitu tebal atau
bebarapa banyak novel tapi tak ia masukkan amanat moral. Membuat tulisan yang
baik, lebih sulit daripada membuat seribu karangan dalam jangka waktu dua
bulan.
Percuma
kalau saja ia membuat cerita tapi hanya cerita kosong yang tak bisa diambil
maanfaat sedikit pun. Ia tergugah dengan kata-kata Fauzil B. dalam bukunya.
Sedikit pun guna dari tulisan kita adalah yang terbaik jika orang membacanya
berulang kali dan menjadikannya sebuah tulisan lagi. Terus menerus. Jika
dicontohkan oleh beliau kotoran yang keluar tak akan langusung dibuang sebagai
sampah, tapi diambil dan dicerna kembali mejadi sebuah produk.
Hari
yakin ceritanya kali ini akan diterima oleh dosennya. Ia tak bisa merangkai
kata yang koheren satu sama lain, tapi Hari berusaha menguras ingatan
kosa katanya. Bendahara kata yang dimilikinya tak cukup memenuhi lembaran
kertas yang ia genggam. Hingga ia menuliskan kata seadanya saja. Sekiranya
dapat dibaca. Selagi mampu menulis. Menulislah Hari.
Saat
ini Hari memang tak memiliki waktu untuk memikirkan tema apa yang akan ia bawa
dalam ceritanya. Masih banyak tugas dari dosen lain yang lebih dekat waktu
pengumpulannya. Hingga Hari pikir yang lebih dekat itu yang dapat ia kerjakan
secepatnya. Waktunya terulur oleh kegiatan lainnya di organisasi. Banyak sekali
persoalan baru yang menjadi pengharapan bagi Hari sebagai bekal hidup di masa
dan rakyat. Awalnya, ia tak berniat menulis novelnya di rumah Syahid. Namun
kebetulan banyak sekali yang menjadi pertanyaan bagi Hari. Mungkin hari itu
keberuntungan untuk Hari bisa mendapatkan intuisi dan pemikiran cemerlang
menggarap novel. Syahid juga diuntungkan. Ia menjadi salah satu tokoh dalam
novelnya meskipun ibunya harus memasak lebih banyak, tapi biarlah mudah-mudahan
menjadi berkah bagi keluarga Syahid. Rasa terima kasih akan ia ucapkan lewat
cerita.
Memang
kalau masalah makanan, Hari tak jadi nomor satu. Tapi teman-temannya bilang
padanya bahwa dirinya itu rakus melihat makanan. Padahal Hari tak begitu. Ia
hanya sedang bernafsu makan saja. Mungkin nafsu makannya ada setiap waktu, jadi
makanan jenis apapun ia hembat asalkan jangan rumput dan ilalang.
Tubuh
Hari tak segemuk orang yang suka makan. Aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa
rantau menjadi pintu keluar masuk energi yang ia dapatkan. Sayangnya, ketika
Hari makan bersama teman-temannya, ia selalu saja menjadi yang tercepat
menghabiskan isi piring sebanyak apapun itu. Padahal ia sudah diajak mengobrol
atau bercanda oleh teman-temannya menghambat kecepatan Hari melahap masakan
yang selalu ia katakan lezat.
Hari
juga menuliskan sebuah kejadian yang memang tak aneh di telinga orang-orang.
Waktu ia makan bersama gadis yang ia sukai di kelasnya, tak ada rasa malu atau ja’im
berhadap-hadapan memandang suapan satu sama lain. Teman perempuannya yang lain
juga biasa-biasa saja. Hari bertukar obrolan dengan gadis ayu itu. Ternyata,
dia lebih suka sayur-sayuran daripada daging ataupun makanan lain yang
berlemak. Sebenarnya, Hari juga lebih menyukai sayuan daripada daging. Buktinya
saja makanan favoritnya itu adalah tumis pare-pare.
Hari
ingin menyembunyikan fakta rasa yang ada dalam hatinya. Semua ketika bersama
dengannya.
Begitu
dalam rasa Hari pada gadis berwajah putih itu hingga ia harus memegang lebih
erat lagi apa yang telah mereka ikrarkan. Terkadang ia merasa tak pantas untuk
memiliki gadis itu atau hanya sekedar dekat saja. Akhirnya ia hiraukan rasa
canggung di hatinya. Ia acuhkan perkataan teman-temannya. Prinsip dalam hidup
Hari berkata hanya dalam dirinya. Kekurangannya mungkin hanya sebutir pasir di
tepian pantai. Namun ia berharap hal sekecil itu dapat membuat kesempurnaan
dalam diri perempuan yang didambakannya itu.
Anehnya,
gadis itu seperti ketakutan kehilangan sosok Hari dalam hari-harinya. Mungkin
tak akan ada lagi lelaki yang bisa diajak berbincang. Masalah belajar, masalah
hati ataupun masalah orang lain.
Di
sela-sela Hari menulis novelnya itu, seketika ia teringat dengan wajah dengan
mata sayu yang membuatnya selau hidup dengan penuh pengharapan. Lalu ia sobek
selembar kertas dan menuliskan surat yang tak akan selalu ia sampaikan:
Assalaamua’alaiki
Yaa Qolbi
Bergulir
waktu hingga aku duduk termenung menuliskan cerita saat bersamamu. Tahukah
engkau wahai Qolbi? Rasa rinduku memang tak akan sampai. Tapi mudah-mudahan
menjadi pemicu semangatku menunggu.
Setiap
engkau berkata, selama engkau menatapku. Percayalah aku tak akan mencoba untuk
pergi dari hadapanmu. Jika aku diizinkan untuk tidak pergi lebih jauh dari
hatimu.
Maafkanlah
aku jika berburuk sangka, terlalu banyak canda tawa dalam diriku.
Jika
dirimu merasakan sesuatu yang sama seperti yang ku ukirkan hari ini, maka
dengarkanlah kata hatiku. Sejenak pun aku tak bisa melupakan senyum diwajahmu.
Setelah aku mengenalmu beberapa waktu lalu.
Qolbi.
Lama tak datang kabar padaku. Tentang dirimu dan dirinya. Perkenalkanlah aku.
Supaya aku tak terbelenggu rasa di hati ini. Aku baik-baik saja. Jika Tuhan
mengizinkan kita bersama hari ini, maka bawalah aku. Angkat diriku dari
keterpurukan hati ini. Bantulah aku. Aku membutuhkanmu mendekatkan diriku
padaNya.
Jujur
aku ingin mendapatkan cintaNya dari cintamu.
Dari
orang yang naif.
Dia.
Gadis cantik yang memegang teguh pendiriannya pada Tuhannya. Dia juga tak
menghilangkan kehadiran seorang lelaki dalam hidupnya. Luluh lantah semua hati
Hari oleh perempuan itu.
***
Lanjutan
Kesembilan.
Hari
semakin sore. Syahid sudah tiba dengan ayahnya dari ladang. Berisik suara
obrolan mereka menghentikan guratan-guratan di atas kertas kerja Hari. Hari
keluar dari kamar menyambut Syahid dan bapaknya.
“Bapak
maaf ya! Hari nggak bisa bantu hari ini”
Hari
duduk di samping bapak Syahid yang sedang mengipas-ngipaskan topi ladang ke
dadanya. Bajunya ia bukakan lebar-lebar biar udara menghentikan cucuran
keringatnya. Bapak Syahid tersenyum menatap Hari.
“Nggak
apa-apa. Lagian kamu kesini nggak disuruh kerja kan?”
Tawa
bapak Syahid meletuskan lelah di wajahnya. Hari tersenyum malu. Ia masuk kamar
lagi mengambilkan handuk untuk Syahid. Ia juga bergegas mandi sore. Supaya tak
gatal-gatal lagi seperti hari kemarin.
Syahid
sudah siap-siap bersama Hari pergi ke mesjid. Di awal senja itu, Hari tak
memikirkan lagi tetangga depan Syahid. Lagi pula tak didengarnya lagi
suara-suara aneh yang membuat hatinya bergetar. Sambil berbincang, mereka
berdua menelusuri gang sempit menuju mesjid.
Sepulang
dari mesjid. Hari dan keluarga Syahid duduk bersama di meja makan.
Bercakap-cakaplah mereka berempat. Diiringi suara pembawa berita di telivisi.
“Jadi
kamu mau pulang besok?”
Tanya
bapak Syahid mengawali obrolan mereka. Sambil menyiduk nasi. Dengan nada santai
ia menyapa anak lelaki yang sudah dianggap saudara kandung Syahid itu.
“Ya
pak!” Jawab Hari pendek.
“Kenapa
kamu buru-buru pulang?” tambah ibu Syahid seraya menyimpan air putih di samping
piring suaminya.
“Iya..
Kamu kan masih liburan” lanjut bapak Syahid menambahkan.
“Pengen
Hari sih di sini selama liburan. Tapi Hari masih banyak tugas Pak! Jadi harus
cepet pulang” kandas Hari menjelaskan pada kedua orang tua angkatnya.
“Tugas
apaa Har?” tanya Syahid seolah ingin meramaikan pembicaraan saja.
“Kamu
kan udah lihat tadi. Aku lagi nulis novel buat tugas mata kuliah. Bayangin aja,
nggak tanggung-tanggung seratus lima puluh halaman man! Susah kan? Belum
lagi tugas-tugas mata kuliah lain”
Gelegar
tawa membuat suasana malam itu serasa amat pendek bagi Hari. Selepas shalat
isya, Hari melanjutkan lagi cerita yang ia tulis tadi pagi. Ia ingin tugas itu
cepat selesai sampai ia pulang ke Bandung. Sampai tengah malam. Hari terus
menulis dan akhirnya ballpoint di tangannya ia simpan di atas meja. Rasa kantuk
menutup wajahnya. Tak lagi ia dengar suara tangis ataupun jeritan anak kecil.
Hari bisa tertidur lelap. Malam dingin. Mimpi.
Hari
terbangun dari mimpinya. Buku itu tak ada di genggamannya. Hilang! Pikir Hari
kelabakan mencari buku itu saat dirinya duduk bersandar pada dinding kamar
Syahid. Ia sadar itu hanyalah mimpi. Mimpi yang tak akan pernah ia lupakan.
Selepas
melaksanakan panggilan Tuhannya, Hari kembali duduk. Ia mencoba mengingat
tulisan-tulisan yang ada di buku itu. Ia juga mengingat kata-kata yang
diucapkan lelaki itu sebelum ia lari jauh meninggalkan Hari. Dua jam lebih Hari
termenung mengingat kejadian yang paling aneh dalam mimpinya. Mimpi yang
membawanya ke alam sadar. Dirinya sedang berada.
***
Akhir
Cerita.
Jam
delapan pagi.
Segera
ia berkemas-kemas. Hari itu ia akan kembali ke Bandung. Sebelumnya ia membaca
hasil tulisannya kemarin. Ia tambahkan ceritanya dengan mimpi yang dialaminya
semalam. Lalu ia memasukkannya ke dalam tas hitamnya. Alat-alat tulisnya pun ia
masukkan kecuali ballpoint yang kemarin habis buat menulis.
Setelah
badannya kembali segar. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah, Hari meninggalkan
kamar mandi. Syahid ada di belakang rumah. Mengelus ayam jantannya. Memberinya
makanan dan air.
Hari
berpamitan kepada Syahid, bapak dan ibu. Dengan tas besar di punggungnya, ia
dibekali banyak oleh-oleh kota Cirebon oleh ibunya Syahid.
“Bapak,
Ibu, Hari pulang dulu. Maaf kalo udah ngeropotin Bapak sama ibu. Tar kalo ada
waktu liburan lagi, Hari pasti ke sini kok”
Hari
mencium telapak tangan kedua orang tua angkatnya itu. Tampak raut kesedihan di
wajah mereka. Apalagi Syahid. Tak ada yang menemani tidurnya dan ngobrol minum
kopi di depan rumah.
“Hati-hati
ya!”
“Jangan
lupa belajar yang rajin. Jangan males nulis biar kamu jadi penulis yang hebat.
Iya kan Bu?”
Pertanyaan
dan pesan semangat buat Hari.
“Iya
Pak. Hari minta do’a dari Bapak sama Ibu supaya Hari cepet jadi orang sukses
yang jujur”
Jawab
Hari menanggapi dorongan dari kedua orang tua angkatanya.
“Amiiin”
Jawab mereka serempak.
Hari
pergi meninggalkan rumah Syahid yang telah memberikan dirinya segudang cerita
sebagai bahan tema novelnya.
“Gw
anterin sampe depan ya!” Syahid menawarkan jasa persaudaraannya.
“Mau
sampe terminal juga boleh!” ketus Hari menerima tawaran Syahid.
Untuk
waktu yang lama mereka tak akan bertemu. Kebersamaan yang tak ia temui di
kampus atau di kostannya. Sungguh Hari berterima kasih kepada Syahid yang telah
memberikan banyak inspirasi dalam karyanya.
Aku
akan kembali. Ungkap Hari dalam lamunanya sejenak sebelum ia beranjak dari
pintu rumah Syahid. Kembali berjuang meneruskan perjalanannya menempuh masa
depan dan cita-citanya. Jika Yang Maha Kuasa memperbolehkan, ingin Hari ia
mendapatkan cinta Listia yang sudah beberapa bulan ia nantikan.
Hari
didampingi Syahid meninggalkan kenangan lorong-lorong hitam perkampungan itu.
Beberapa kali berbelok-belok, Hari melihat cahaya besar seperti pintu lorong.
“Kalo
ada apa-apa kabarin gw ya! Apalagi kalo kamu punya cewek Ok!”
Pesan
tawa Syahid membantu langkah Hari. Jejaknya semakin terasa ringan. Hingga
seluruh tubuhnya terkena cahaya besar itu. Matanya silau. Tak dapat melihat
sesuatu apapun di depannya. Seperti orang terpejam dan terbelai mimpi.
“Mas
Mas udah nyampe. Mas bangun Mas!”
Suara
yang sedikit pelan terdengar di telinga Hari. Seluruh wajahnya tertutup sweater
yang ia bawa. Udara kota Cirebon yang cukup panas tak kuat memakai sweater. Ia
buka dalam mobil itu lalu menutupkan ke wajahnya. Ia takut muntah melihat sesak
di sampingnya dan mendengar suara bising mesin mobil. Apalagi suara angin
jalanan yang langsung menembus ubun-ubun kepalanya.
Suara
itu terdengar oleh Hari berulang kali menyentuh daun telinganya. Ia membuka
kain di wajahnya. Sedikit menutup matanya yang silau terkena mata terik siang
hari.
“Udah
nyampe Sindang Laut, Mas”
Tegur
laki-laki berkaus dan bercelana panjang jeans biru yang sobek-sobek di bagian
pahanya.
“Sindang
Laut?” pekik Hari aneh. Ia rasa ia sudah mau pulang ke Bandung.
“Mas
mau ke Sindang Laut kan?” jawab lelaki itu. Sepertinya ia kondektur angkutan
elf itu.
Hari
langsung keluar dari mobil itu. Cuma ia sendirian yang tersisa. Mobil itu pun
sudah berhenti menunggu penumpang yang mau pergi ke terminal kota. Hari menutup
keningnya yang terasa panas. Ia bingung. Diputar tubuhnya itu melihat mobil
yang ia tumpangi. Ia terdiam sejenak
Itu
kan supir yang dari terminal. Kondekturnya juga sama. Mobil cokelat jursan
Sindang laut ini? Giginya menggigit ujung telunjuknya yang sudah memanah ke
arah orang dan benda yang diperhatikannya. Matanya yang memerah percaya semua
yang dialaminya hanya mimpi.
Ia
duduk sejenak dipayungi perasan terik mentari ke dalam pori-pori kulitnya. Ia
mengingat semuanya pertama berangkat dari kostannya sampai di terminal Tirta
Bakti Cirebon. Lalu naik mobil elf kemudian ia ketiduran. Hari baru ingat ia
tertidur pulas di antara dempetan penumpang mobil angkutan itu.
Tapi
anehnya kenapa tidurnya lama. Padahal jam di tangan kiri Hari baru berpindah
lima belas menit dari yang ia lihat sebelum berangkat pergi dari terminal. Ia
sadar. Tak panjang kata, Hari bangkit dan berjalan. Ia naik angkutan umum ke
kampung Buntet Desa. Tak ada orang aneh yang ia temui dalam mimpi. Tak ada yang
menyendiri. Semuanya tampak bekerja sama. Pedagang dan pembeli. Supir dan
penumpang. Tak sama dengan yang ia lihat dalam mimpinya.
Lebih
aneh lagi, Hari sudah hafal jalan dan lorong-lorong gang rumah waktu ia masuk
ke perkampungan itu. Tak bosan-bosannya ia memandangi dinding dan pagar tembok
yang tinggi di sampingnya. Entah. Hanya sekedar memastikan ia berada. Tak ada
dalam mimpi lagi. Hari mencubit pipinya sendiri dan menamparnya keras.
“Aaww”
Hari
bukan lagi dalam ruang mimpi. Ia di alam nyata. Tangannya benar-benar
berkeringat. Tubuhnya benar-benar terasa letih. Kepalanya benar-benar terasa
pusing tujuh keliling.
Orang-orang
yang asing menatapnya seperti ketakutan melihat tampang Hari yang seperti orang
mabuk matanya memerah. Padahal mimpi itu membangunkannya dari alam khayal yang
selam ini ia jalani. Terus menelusuri lorong itu dan ia berbelok ke kanan.
Sontak
ia tertegun. Lelaki tua yang ia tanya dalam mimpinya benar-benar ada. Duduk
bersila di depan rumahnya. Seperti penglihatan dalam tidurnya, lelaki tua itu
berkemeja putih. Kancing baju di dadanya tersingkap oleh udara di bawah
kepalanya. Peci hitam persis apa yang di lihat oleh Hari.
Lelaki
itu tersenyum. Tak seperti yang pernah ia lihat. Lelaki tua itu ramah
menyapanya dan menegurnya. Hari melontarkan senyuman. Dengan yakin ia tak
bertanya pada bapak tua itu. Semuanya pasti benar dan ini petunjuk bagi saya.
Gumam Hari dalam pikirannya.
Ia
meninggalkan lelaki tua yang wajahnya berasap. Sebatang rokok kretek dan cerutu
dari tulang kelinci. Ia menikmati panas siang denga menyeruput secangkir besar
kopi di depannya. Kakinya berlipat semua terasa benar-benar nikmat. Hidup
menjelang akhir usia.
Hari
melangkah lagi.
Nomor
rumah 76 sudah ia lihat dari kejauhan. Itu pasti rumah Syahid. Tak salah lagi.
Syahid sedang duduk persis di bangku kayu di depan rumahnya. Ia sedang santai
melepas keringat yang bercucuran dari leher dan pundaknya. Pasti dia pulang
dari ladang. Tebak Hari.
“Assalaamua’alaikum!”
Pekik
Hari dari pembatas rumah Syahid. Ia terkaget dengan suara khas Hari. Ia membuka
matanya yang tertutup.
“Wa’alaikum
salam. Hei Hari! Sini masuk. Gimana kabarnya lama nggak kedengeran kamu
berkoar”
Syahid
langsung memeluk erat lalu memberendeli Hari dengan tanyanya. Mereka berpelukan
erat. Syahid menepuk punggung temannya itu. Lalu ia menggandeng bahu Hari.
Menggiringnya masuk ke rumah. Syahid berteriak memanggil ibunya. Ada tamu
istimewa datang jauh dari Bandung. Hari mencium tangan ibu itu dan duduk di
kursi ruang tengah rumah yang terasa sejuk dan nyaman itu.
Sambil
mendinginkan tubuhnya, Hari meneguk air putih. Lagi-lagi ia yakin itu air kendi
yang super mineralnya. Hari bersandar ke punggung sofa. Ia merasa segar. Ini
benar-benar nyata. Tak lama ibunya menyuguhkan makanan ringan. Untuk pertama
kalinya Syahid bersilaturrahmi ke rumah sahabatnya disambut dengan keakraban
keluarga Syahid.
Siang
berganti malam. Syahid dan Hari berkelakar di depan rumahnya. Selintas seorang
wanita setengah baya keluar dari rumahnya di depan rumah Syahid. Ibu itu
tersenyum ramah. Berbeda sekali dengan yang ia lihat dalam ingatannya. Ibu itu tak
mirip dengan ibunya. Kegeraman pun tak nampak di raut mukanya.
Riang
ceria anak-anak tetangga depan rumah Syahid mengembalikan jalur-jalur syaraf
Hari yang sempat kusut. Ketiga anak itu terlihat oleh Hari lewat pintu rumah
yang tak tertutup. Mereka asyik menonton telivisi. Hari memperhatikan wajah
mereka sejenak di tengah buramnya cahanya lampu listrik.
“Endro,
Yayu, Eri sama Hendra” agak berbisik tangan Hari menunjuk keempat bocah itu.
“Lho
kok lu tau nama-nama tetangga gw. Lu kan baru sekarang kerumah ke sini” tanya
Syahid heran.
Hari
hanya tersenyum. Tak ingin ia utarakan hal yang sebenarnya yang ia alami.
Selintas ia melihat seorang lelaki di dalam rumah itu. Mungkin bapak mereka
yang dalam mimpi Hari menghilang. Entah mati ataupun pergi begitu saja. Ia
duduk di tengah lingkaran anaknya. Melindungi mereka.
Hari
hendak tidur dengan gelap malam dan bintang. Belum juga ia berbaring, ia
melihat ballpoint tergeletak di atas meja belajar Syahid.
“Ini
kan pulpen gw!” setengah menarik kencang suaranya Hari kaget. Pulpen yang ia
tinggalkan dalam mimpinya sudah ada di atas meja belajar Syahid.
Post a Comment (0)