Semantik dan Bahasa Al Quran
Pengertian Semantik
Pada tulisan ini, penulis akan membahas pengertian semantik menurut pakar lingustik baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah Abdul Chaer mengatakan tentang pengertian semantik adalah mempelajari hubungan antara tanda-tanda lingustik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam lingustik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa; fonologi, gramatikal, dan semantik.
Menurut Ferdinand de Saussure (1996) yang dikutip oleh Abdul Chaer mengatakan. Pertama, semantik adalah suatu komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa. Kedua, komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen tersebut merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Demikian juga dengan Chomsky, bapak lingustik transformasi, dalam bukunya yang kedua (1965) beliau mengatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini. Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi lingustik menjadi semarak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf dengan bidang-bidang studi lingustik lainnya.
Pendapat yang berbunyi “semantik adalah studi tentang makna” dikemukan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle 1979:195). Menurutnya, semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Definisi yang sama dikemukakan pula oleh George (1964: 511), sedangkan Verhaar (1983: 124) mengatakan bahwa semantik adalah teori makna atau teori arti ( Inggris, semantics, kata sifatnya semantic yang dalam bahasa Inggris dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina dan semantics sebagai adjectiva). Menurut J.W.M. Verhaar mengatakan tentang pengertian semantik adalah “teori makna” atau “teori arti”.
Kata semantik menurut Padeta (1989: 12) sebenarnya merupakan istilah teknis yang menunjukan studi tentang makna. Tarigan (1998: 7) menjelaskan semantik adalah telaah makna atau lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna.
Kata semantik menurut Quraish Shihab (2004: 101) adalah ilmu tentang tata makna atau pengetahuan tentang seluk beluk dan pergeseran makna kata-kata. Setiap kata merupakan wadah dari makna-makna yang diletakan oleh pengguna kata itu. Seperti, satu kata yang sama digunakan oleh dua bangsa tetapi maknanya berbeda.
Djajasudarma (1993: 2) berpendapat bahwa semantik digunakan oleh para ahli bahasa untuk menyebut bagian ilmu yang mempelajari makna.
Al-Khuli menyebutkan semantik dengan sebutan ‘ilmu al-ma’ani’ atau ‘ilmu ad-dilaalah’ dengan definisi sebagai berikut:
علم الدلالة أو علم المعا ني هو فروع من علم اللغة يدرس العلاقات بين الرمز اللغوي ومعناه ويدرس تطور معاني الكلمات تا ريخيا وتنوع المعاني والمجاز اللغوي والعلاقات بين كلمات اللغة.
Artinya:
“Semantik adalah cabang dari ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara rumus-rumus bahasa dan maknanya serta mempelajari perkembangan makna kata-kata dari aspek sejarahnya, macam-macam makna, metafora bahasa dan hubungan antara kata-kata bahasa.”
Semantik merupakan salah satu bidang lingustik yang mencoba meneliti sebuah bahasa yang berkaitan dengan siapa penuturnya, di mana, kapan, sedang apa dan bagaimana. Semua itu mampu mempengaruhi makna suatu bahasa, hubungan antara benda (objek) dan simbol lingustik (kata, frase, dan kalimat) inilah yang menjadi objek studi semantik. Semantik juga menyentuh sejarah perubahan makna kata-kata.
Dari penjelasan para tokoh lingustik di atas tentang pengertian semantik. Penulis dapat simpulkan bahwa pengertian semantik adalah ilmu yang mempelajari makna. Makna merupakan bagian dari bahasa yang objek kajiannya meliputi; bunyi, kata, kalimat, wacana dan lambang (simbol).
Macam-Macam Makna Bahasa
Setelah kita membahas pengertian semantik yang merupakan salah satu bagian dari bahasa. Selanjutnya penulis akan membahas pengertian bahasa menurut para pakar lingustik salah satunya adalah Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982); “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber (1964: 21), Wardhaugh (1977: 3), Trager (1949: 18), de Saussure (1966: 16), dan Bolinger (1975: 15).
Pada hakikatnya bahasa mempunyai sifat dan dan ciri sebagai berikut; (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbiter, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvesional, (7) bahasa itu bersifat unik (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
Oleh karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti, tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena “rumitnya” menentukan suatu peroleh bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini (lihat Crystal 1988: 284). Begitu juga dengan jumlah bahasa yang ada di Indonesia.
Makna Leksikal
Makna leksikal atau makna semantik menurut Padeta (2001: 119) adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tepat, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu.
Kridalaksana (1993: 13) mendefinisikan makna leksikal sebagai makna unsur-unsur bahasa yang melabangkan benda, peristiwa dan lain sebagainnya. Keraf (1989: 130) menyatakan bahwa makna leksikal adalah arti kata yang sesuai dengan apa yang kita jumpai dalam leksikom.
Padeta (1989: 64) juga berpendapat tentang pengertian makna leksikal adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, entah dalam bentuk dasar atau leksem turunan dan maknanya kurang lebih tepat seperti yang dapat kita temukan dalam kamus.
Chaer (2003: 289) berpendapat tentang pengertian makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Makna leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya. Oleh karena itulah, barangkali, banyak orang yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini, memang tidak salah, namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
Makna Gramatikal
Pateda (2001: 103) berpendapat tentang pengertian makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Kridalaksana (1993: 58) gramatikal sebagai makna yang timbul akibat adanya peristiwa gramatikal baik antara imbuhan kata dasar antara kata dengan kata atau frase dengan frase.
Makna gramatikal menurut Chaer (2003: 290) adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.
Oleh karena itu, makna sebuah kata, baik, kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi, maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.
Berikut ini merupakan contoh makna gramatikal menurut Chaer (2002: 62). Makna gramatikal melalui proses afiksasi awalan ter-pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan makna ‘dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ‘tidak sengaja’.
Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contoh makna konteks kata kepala dalam kalimat. (1) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih. (2) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu. (3) Nomor teleponya ada pada kepala surat itu. (4) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa. (5) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Dari contoh kalimat diatas, kita dapat mengetahui makna kontekstual dari penggunaan kalimat sebelumnya apakah makna tersebut berkenan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Bahasa Al-Quran
Tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat al-Quran tersusun dengan kosa kata bahasa Arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam pembendaharaannya akibat akulturasi. Al-Quran mengakui hal ini dalam sekian banyak ayatnya, antara lain ayat yang membantah tuduhan yang mengatakan bahwa al-Quran diajarkan oleh seorang ‘Ajam (non-Arab) kepada nabi. Allah Swt berfirman;
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ
Artinya:Bahasa ‘Ajam adalah bahasa selain bahasa Arab, dan diartikan juga dengan bahasa Arab yang tidak baik. Tentu saja banyak faktor yang menyebabkan terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa wahyu Ilahi yang terakhir. Faktor-faktor tersebut antara lain berkaitan dengan ciri bahasa Arab dan tujuan penyebaran ajarannya.
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya al-Quran diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tundukan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam sedangkan ini adalah dalam bahasa Arab yang terang (Q.S. an-Nahl: 103).
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Kaldea, dan Babylonia. Utsman bin Jinn (932-1002) seorang pakar bahasa Arab, menekankan bahwa pemilihan huruf-huruf kosa kata oleh bahasa Arab bukan suatu kebetulan, tetapi mengandung falsafah bahasa tersendiri.
Keunikan bahasa Arab terlihat juga pada kekayaannya. Dan kekayaan tersebut bukan saja terlihat pada jenis kelamin kata atau pada bilangannya yaitu tunggal (mufrad), dual (mutsanna) dan jamak atau plural, tetapi juga pada kekayaan kosa kata dan sinonimnya. Keistimewaan bahasa Arab juga disebabkan oleh adanya apa yang dinamai i’rab. Bahkan dapat dikatakan bahwa i’rab adalah ciri khas bahasa Arab. Yang dimaksud dengan i’rab adalah “perubahan akhir suatu kata dalam kalimat yang disebabkan oleh perbedaan faktor (‘amil) yang menyertainya baik ‘amil disebut secara jelas maupun diperkirakan dalam benak”. Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi makna.
Keunikan lain dari bahasa ini adalah banyaknya kata-kata ambigu, dan tidak jarang satu kata mempunyai dua atau tiga arti yang berlawanan. Tapi, dalam saat yang sama seseorang dapat menemukan kata yang tidak mengandung kecuali satu makna yang pasti saja.
Keistimewaan lain bahasa yang digunakan oleh al-Quran ini adalah kecendrungan kepada penyingkatan atau diistilahkan dengan ijaz. Tentu saja sewaktu-waktu diperlukan ithnab (kepanjang-lebaran) tetapi itu hanya dilakukan bila benar-benar diperlukan.
Al-Quran Sebagai Suatu Teks
Dari tinjauan kritik historis dan literatur, umat Islam paling beruntung karena transmisi al-Quran sejak dari lisan Muhammad Saw sampai dalam bentuk kitab yang kita jumpai hari ini memiliki mata-rantai yang sangat akurat, suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh sejarah kitab suci agama lain. Dari pandangan teologis, hal ini diyakini oleh umat Islam sebagai karya dan tanggung jawab Allah sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran pada Muhammad Saw.
Dalam setiap ayat tentang penjagaan dan penurunan al-Quran kepada Muhammad Saw, Allah Swt menggunakan kata “Kami” dalam pemeliharaan al-Quran. Oleh kalangan ahli tafsir, kata “Kami” biasanya mengandung makna adanya keterlibatan atau campur tangan manusia di dalamnya. Artinya, secara tersamar sesungguhnya al-Quran sendiri memberikan akomodasi bagi telaah historis dan sosiologis mengenai proses transmisi al-Quran dari generasi ke generasi untuk menjaga autentitasnya.
Meskipun pencatatan kitab suci al-Quran telah dimulai sejak masa Muhammad Saw, namun kodifikasinya yang lengkap dan terpadu baru dilaksanakan pada masa pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan (23-35H/644-656M). Para ulama dan kebanyakan kritikus sejarah sepakat bahwa transmisi al-Quran sejak dari Muhammad Saw sampai masa kodifikasinya hingga yang muncul pada kita dalam bentuk cetakan, tidak mengalami perubahan apa pun. Artinya, kita suci al-Quran yang ada saat ini adalah persis seperti yang dibaca dan dimiliki para sahabat nabi. Kesinambungan mata-rantai lisan dan tulis yang demikian ini tidak berlaku pada kitab suci lain.
Peneliti Barat yang meragukan autentisitas kodifikasi ‘Utsman, misalnya John, Wansbrough dalam bukunya Qur’anic Studies (1977). Di situ, Wansbrough mengatakan bahwa, sebagaimana terjadi pada penulisan Bibel, terdapat perbedaan versi antara pakar kolektor atau pencatat al-Quran di masa Muhammad dengan yang dibakukan oleh Khalifah, Utsman, meskipun keadaannya tidak sebesar Bibel.
Pendapat Wansbrough ini telah dibantah oleh John Burton dalam The Collection of the Qur’an (1977) yang menganggap penilaian di atas tidak memiliki bukti yang kuat. Burton memperkuat pendapat pada ulama Islam bahwa sesungguhnya penulisan wahyu al-Quran telah selesai di masa Muhammad dan panitia yang dibentuk oleh ‘Utsman hanya bersifat mengukuhkan dalam bentuk mushhaf standar agar selanjutnya bisa dijadikan pedoman oleh umat Islam secara keseluruhan.
Salah satu alasan yang mendesak agar segera dibukukan adalah semakin berkurangnya sahabat dekat nabi yang dikenal jujur, hafal, dan memiliki catatan al-Quran. Al-quran adalah kitab yang banyak dihafal di kalangan para sahabat dan tab’in karena al-Quran adalah kitab memang menuntut untuk selalu dibaca dan dihafalkan. Di sisi lain, wahyu al-Quran bisa terpelihara karena didukung oleh kuatnya tradisi oral-aural (melafalkan dan mendengarkan) serta tradisi hafalan yang memang terkenal dimiliki masyarakat Arab pada saat itu.
Karakteristik Bahasa Al-Quran
Sebagaimana telah disebutkan, al-Quran memiliki gaya bahasa yang khas, dan pembacanya harus mencermati beberapa ciri khas penting dalam gaya bahasa ini. Dalam bab ini, penulis akan membahas beberapa karakteristik bahasa al-Quran.
Pada banyak surah, al-Quran bahkan mencapur sejumlah subjek, misalnya keimanan, ibadat, moral dan hukum, dengan tujuan memperkuat ajaran-ajaran dasarnya. Persoalan hukum diperkuat dengan cara mengkaitkannya dengan keimanan, ibadah, dan moral.
Al-Quran bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk dan memiliki metode tersendiri dalam targhib (memberikan anjuran) dan tarhib (menyampaikan ancaman) sehingga keduanya berjalan seimbang. Inilah karakteristik bahasa al-Quran. Dengan demikian, dapat anda temukan sesuatu yang kontras dalam ayat-ayatnya; setiap kali ia berbicara tentang surga dan pahala untuk orang-orang shaleh, selalu didampingi dengan penyebutan neraka dan azab bagi pelaku kejahatan, karena al-Quran mengakui bahwa akan selalu ada orang yang berbuat baik maupun berbuat jahat. Karakteristik bahasa al-Quran dapat kita lihat dari lima aspek yang akan penulis kemukakan di bawah ini:
- Nada dan Langgamnya
Jika kita mendengar ayat-ayat al-Quran, hal pertama yang terasa di telinga adalah nada dan langgamnya. Ayat-ayat al-Quran walaupun, sebagaimana ditegaskan-Nya, bukan syair atau puisi, namun terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendikiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran yang di kutip oleh Quraish Shihab dalam Mukjizat al-Quran mengatakan bahwa al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya di mana setiap nada-nadanya bisa menggerakan manusia untuk menangis dan bersuka-cita.
Hal ini disebabkan oleh huruf dari kata-kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
- Singkat dan Padat
Tidak mudah menyusun kalimat singkat tentang sarat makna, karena pesan yang banyak, bila kita tak pandai memilih kata dan menyusunya, memerlukan kata yang banyak pula. Al-Quran memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna.
Al-Quran adalah ayat-ayat Allah Swt, demikian juga dengan alam raya. Kalau melalui pengamatan dan studi terhadap alam raya manusia dari saat ke saat dapat meyikap rahasia-rahasianya, dan memperoleh sesuatu yang baru dan belum diketahui oleh manusia atau generasi sebelumnya, maka demikian juga halnya dengan ayat-ayat Allah yang tertulis. Mereka yang berkecimpungan dalam studi al-Quran akan dapat menangkap makna-makna baru yang belum terungkap oleh penelitian dan studi manusia atau generasi yang lalu.
- Memuaskan Para Pemikir dan Orang Kebanyakan
Jika kita membaca suatu artikel, maka kita diperkenankan menilainya sangat dangkal sehingga tidak sesuai dengan selera pemikir dan ilmuwan. Begitu juga sebaliknya, sehingga ia tidak dapat dikonsumsikan oleh orang kebanyakan.
Al-Quran tidak demikian, orang-orang awam akan merasa puas dan memahami ayat-ayat al-Quran sesuai dengan keterbatasannya, tetapi ayat-ayat yang sama dapat dipahami dengan luas oleh filosof dalam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan.
- Memuaskan Akal dan Jiwa
Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa, atau akal dan kalbu. Daya pikir mendorongnya antara lain untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkanya untuk mengekspresikan keindahan, dan mengembangkan imajinasi. Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya tersebut dalam saat yang sama.
Bahasa al-Quran memiliki keunikan yaitu kemampuannya menggabungkan kedua hal tersebut. Karena itu, ketika berbicara tentang sesuatu misalnya hukum, redaksi yang dipakai tidak kaku sebagaimana halnya redaksi pakar-pakar hukum. Al-Quran menguraikan ketetapan hukum itu dengan argumentasi logika dan dengan gaya bahasa yang berbeda-beda.
Untuk memerintahkan sesuatu, al-Quran menggunakan aneka gaya. Sekali dengan perintah tegas, dan di kali lain dengan menyatakannya sebagai kewajiban. Sementara di tempat lain lagi dengan melukiskannya sebagai kebajikan, atau mewasiatkan, atau menjanjikan pelakunya ganjaran yang banyak. Demikian beraneka ragam perintah Allah yang terdapat di dalam al-Quran. Begitu juga halnya dengan mencegah atau menganjurkan dan memberikan alternatif. Dari sisi lain, kandungan ayat hukum itu sendiri kadang-kadang benar-benar menyetuh akal dan jiwa manusia.
- Keindahan dan Ketepatan Maknanya
Tidak mudah menjelaskan keindahan bahasa Al-Quran bagi yang tidak memiliki rasa bahasa Arab atau paling tidak pengetahuan tentang tata bahasanya. Quraish Shihab dalam Mukzijat Al-Quran (2004: 132-133) mengilustrasikan surat Az-Zumar ayat 73 sebagai berikut:
“Jika anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara, atau tempat penyiksaan, maka ketika anda sampai di pintu penjara, anda akan menemukan pintu itu tertutup rapat. Ia baru dibuka bila terpidana akan dimasukan ke dalamnya. Ini berbeda dengan seorang yang anda nantikan kedatangan dan menghormati kehadirannya. Jauh sebelum tibanya, pintu gerbang telah terbuka lebar untuk menyabutnya, sehingga bukan seperti keadaan penjahat di atas.”
Penggambaran surat Az-Zumar ayat 73 di atas menambahkan huruf wawu, sehingga dengan demikian, huruf ini memberikan makna tambahan sendiri, yang tidak terdapat pada uraian tentang penghuni neraka.
Post a Comment (0)