Lampu
Tempel
“A’uudzubillaahiminassyaithaanirrajiim”.
“Bismillahirrahmaanirrahiiim”.
Api lampu tempel hampir padam.
Pandangan pun hampir mati dalam kegelapan tanpa api. Ada lima lampu tempel di
dinding surau desa. Seperti riak air, hembus angin hendak menebas pangkal sinar
lampu itu. Iqbal menundukkan kepalanya rendah-rendah. Sepertinya lensa mata
Iqbal mengecil. Konsentrasi melihat Qur’an Juz ‘Amma. Temannya yang lain
duduk-duduk agak jauh dari Iqbal dan guru ngajinya.
Iqbal selesai membaca Surat Al-‘Alaq,
teman yang lain menggantikannya. Ia dan dua orang temannya yang sudah ngaji
menunggu dan berbincang di amben depan surau. Kemudian mereka shalat
isya berjamaah dengan gurunya, masih ditemani lampu tempel.
“Bal, mau pulang lewat mana?”, tanya Burhan.
“Lewat kebon aja ah”
“Kamu nggak takut?”, tanya Burhan lagi.
“Pulangnya sama Cecep, kok!” jawab Iqbal sedikit gugup.
“Ayo atuh. Tar kemaleman lagi!”, ajak Cecep cemas.
Iqbal dan Cecep jalan bergandengan.
Rumah mereka agak jauh dari surau. Tangan kanan Iqbal memegang obor dari bambu.
Ia menyodor-nyodorkan sinar obor di atas kepalanya pada jalan setapak di
depannya.
Setelah mereka lewati kebun yang
katanya angker itu. Cecep sudah sampai di rumahnya duluan. Iqbal sendirian,
badannya gemetar. Giginya beradu kencang dan mulutnya terbungkam. Ia masih
memegang obor di tangannya. Rumah Iqbal memang tak terlalu jauh dari rumah
Cecep, tapi ia harus melewati kebun dulu sebelum ke rumahnya. Matanya melirik
ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sesuatu yang belum pernah ia lihat. Iqbal
semakin mempercepat langkahnya. Bulu kuduknya merinding, lalu ia tak berani
menoleh ke mana-mana. Pintu rumahnya sudah terlihat dari jarak jauh olehnya.
Angin sepoi hembusan dari sawah mendesirkan suara bisikan daun bambu. Suara
batang bambu yang beradu melengking menambah rasa takutnya. Iqbal berlari
secepat kilat. Obor di tangannya padam ditabarak angin, lalu dilemparkannya. Ia
kehilangan cahaya. Gelap. Kemudian.
“Dbraaaaaaaak!”, Iqbal menabrak pintu.
“Ada apa, Bal?”, tanya ibunya keluar dari kamar
kekagetan.
“Nggak ada apa-apa, Bu!”, jawab Iqbal sambil
mengendus-endus.
“Jangan lari-lari atuh!, bikin kaget ibu aja”, ibunya
masuk kamar lagi.
Setelah minum air putih dari kendi di
dapur, Iqbal mengulang pelajaran tadi siang di sekolah, masih ditemani lampu
tempel. Lalu ia menyiapkan pelajaran buat besok.
Keesokan harinya.
Belum juga matahari, Iqbal sudah
mendahului bangun dari tidur. Selepas shalat sampai bersiap-siap pergi sekolah,
masih saja ia takut kalau lewat kebun bambu malam-malam. Iqbal berangkat
sekolah, ia memperhatikan sekitar kebun itu. Lalu menghirup udara sejuk dengan
sinar mentari meresap di kulitnya.
Ah, ternyata tak ada apa-apa.
Gumamnya dalam hati. Ia berangkat sekolah melupakan kejadian semalam.
Awan putih bening tadi pagi berganti
awan tebal, seperti asap. Udara masih segar meski matahari meninggi, menusuk
kulit, dan membuat orang yang berlalu dibawahnya mengerenyitkan dahi. Panas dan
gerah. Berapa jam kemudian, rona-rona jingga kemerahan dari sebelah barat. Awan
pun tak terlihat lagi. Mata-mata bintang mulai menembus langit bumi. Kemudian
redup, hitam.
Sore tadi, Iqbal baru pulang sekolah igama.
Ia mandi lalu berkumpul dengan keluarg2a sebelum garis-garis jingga hilang.
“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar”.
Suasana paling hening antara malam dan siang, kecuali
desiran angin di telinga.
“Bal, kalo kamu takut pulang ngaji, mendingan di rumah
aja”, kata bapaknya.
“Tapi Pak, Iqbal mau ngaji di surau”, jawabnya sedikit
memelas.
“Ya udah, tapi kalo takut pulang, tunggu Bapak dulu dari
mesjid” kata bapaknya, menawarkan.
“Ya, Pak!”, jawabnya singkat.
Mereka berdua pergi ke mesjid. Iqbal
membawa obor bekas semalam. Sumbunya sudah pendek, tapi sudah ia perbaiki tadi
sebelum berangkat ke surau.
“Shodaqallaahul ‘Adziiim”
Iqbal dan teman-temannya selesai
mengaji Qur’an di surau. Sehabis shalat isya, Iqbal pulang bareng Cecep lagi.
Cecep adalah teman Iqbal dari kecil.
Ia tak mau menunggu bapaknya dulu.
Iqbal kan anak lelaki, masa penakut sih? Katanya dalam hati.
Ia menyalakan obornya, kemudian
menelusuri jejak setapak. Ah, coba kalau rumah saya deket kayak Cecep, pasti
nggak bakal takut. Iqbal mengoceh dengan dirinya sendiri. Iqbal sendirian
melewati pohon-pohon bambu itu. Desir angin menghantam telinganya. Ia teringat
lagi cerita dari orang-orang. Bulu kuduknya merinding. Dahinya berkeringat.
Perutnya terasa mules. Kakinya amat terasa berat, susah untuk mengangkatnya
melangkah. Ia dekap Qur’an di dadanya erat-erat. Sinar obor bambu
bergerak-gerak di tangannya.
“Nggak takuuut, nggak boleh takuuut!” katanya
terbata-bata.
“Nggak takuuuuuuut. Nggak takuuuuuuuuut!”, ia menecoba
berkali-kali menenangkan diri.
“Nggak takuuuu………….t!”.
“Dbraaaaak!”
Post a Comment (0)